Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang tidak kenal dengan nama Lubang Buaya? Ya, merujuk pada lokasinya, tepatnya di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur selama ini dikenal sebagai lokasi Tujuh Pahlawan Revolusi yang dibunuh pada 1965.
Namun, tahukah bahwa sosok penyemat nama Lubang Buaya untuk kawasan di Jakarta Timur itu adalah Datuk Banjir? Ya, di sinilah makam beliau berada.
Mengutip dari laman referensi.data.kemdikbud.go.id, di lokasi Lubang Buaya terdapat di Kompleks Monumen Pancasila Sakti, Cipayung, Jakarta Timur. Lokasi tersebut menjadi area yang sakral sekaligus menjadi tempat wisata sejarah.
Advertisement
Adapun di lokasi ini diberi lampu dengan cahaya kemerahan melingkar di area pendopo. Disebutkan, para jenderal pernah meregang nyawa setelah ditembak, diseret, dipukuli, dimasukkan ke dalam sumur, ditembak lagi, lalu ditutup dengan sampah.
Berdasarkan cerita turun temurun, warga yang bertempat tinggal di sekitar sungai juga mengakuinya. Suatu hari sungai meluap dan banjir menyerang tempat permukiman. Saat rakit didayung ke depan, beberapa tidak dapat bergerak.
Begitu air sudah surut, ditemukan bahwa dayung sudah dimakan buaya lapar yang tinggal di sungai. Ruang hampa dalam sungai yang awalnya ditemukan Datuk Banjir, ternyata rumah bagi para buaya.
Sejak saat itu Lubang Buaya memberikan kesan yang menakutkan. Banyak orang takut dan tidak ingin ke sana karena ada lubang yang berisi buaya.
Sebutan tersebut semakin banyak disebut oleh warga sampai terkenal ke daerah lain. Di kemudian hari, pemerintah setempat pun menetapkan soal nama daerahnya menjadi Lubang Buaya. Bahkan ketika sungai sudah mengering dan hutan karet sudah tidak ada lagi.
Siapa Datuk Banjir?
Datuk Banjir atau Pangeran Syarif Hidayatullah adalah satu tokoh yang dianggap masyarakat setempat sebagai pencetus nama Lubang Buaya, sekaligus sebagai pembuka daerah itu.
Berdasarkan cerita rakyat yang beredar, Datuk Banjir datang ke kawasan Lubang Buaya untuk berdakwah. Namun, suatu hari dia dimintai tolong oleh masyarakat setempat untuk meredam gangguan di mana terdapat siluman yang berwujud buaya.
Diketahui, buaya-buaya itu bersemayam di suatu lubuk di dalam sungai untuk mencelakai warga yang hendak menyeberang. Pada akhirnya, Datuk Banjir berhasil menunaikan tugasnya untuk menghilangkan gangguan tersebut.
Adapun Datuk Banjir dimakamkan di kompleks makam keramat Lubang Buaya. Di kompleks makam ini, terdapat empat nisan berjajar yang berisi jasad orang sakti dan juru kuncen makam. Mereka berasal dari keluarga Datuk.
Advertisement
Kisah Aneh di Makam Keramat
Menurut juru kunci makam keramat, Yanto yang juga keturunan Datuk Banjir, peristiwa aneh kerap terjadi di kompleks pemakaman Datuk Banjir. Ini lantaran peziarah tidak mengindahkan aturan yang ditetapkan di makam keramat tersebut.
Yanto juga menuturkan, ada sejumlah larangan yang harus ditaati oleh para peziarah. Larangan itu berasal dari petuah sang kakek yang disampaikan secara turun-temurun.
"Untuk masuk sini, enggak boleh pakai seragam apa pun. Mau tentara, polisi atau siapa pun, enggak boleh pakai seragam ke sini. Itu larangan dari kakek saya dulu," ujar Yanto dikutip dari laman Regional Liputan6.com.
Adapun asal muasal larangan ini berasal dari satu peristiwa yang diceritakan turun-temurun. Kala itu, Indonesia masih dijajah Belanda. Para serdadu hendak menyerang Datuk Banjir dan warga Lubang Buaya. Lalu Datuk Banjir berdoa. Mendadak kawasan itu seperti danau. Para serdadu pun merasakan seperti tenggelam meski tak ada air.
"Dua bulan lalu, malahan ada yang langgar pantangan. Dia kayak kelelep dan tenggelem di jalan ono, padahal kagak ada air," kata Yanto berkisah.
Selain pantangan tersebut, peziarah juga harus memiliki niat bersih. Penyakit hati seperti sombong harus dihilangkan. Untuk tata cara berdoa, Yanto menyebut, tak ada pantangan. Terserah peziarah ingin berdoa apa pun. Bila ingin berdoa, Yanto siap membimbing mengucapkan doa-doa khusus.