Liputan6.com, Yogyakarta - Berbeda dengan Indonesia yang menargetkan Net Zero Emission atau netralitas karbon di tahun 2060, Jepang menargetkan bebas emisi karbon 10 Tahun lebih awal dari Indonesia. Peneliti energi baru dan terbarukan dari Universitas Ibaraki, Jepang, Kotaro Tanaka mengatakan Jepang saat ini menghadapi polusi emisi karbon dengan rata-rata konsentrasi emisi CO2 sekitar 420 ppm.
"Jepang menargetkan bebas emisi karbon 2050. Sebenarnya keluaran gas emisi CO2 bergantung dengan jenis bahan bakar pembangkit listrik yang digunakan," ujarnya di Hotel The Alana Yogyakarta, Rabu 4 Oktober 2023.
Saat ini pemerintah Jepang melakukan kajian pemanfaatan bahan bakar berbasis hidrogen , amonia dan bahan bakar sintetis untuk sumber energi pembangkit listrik dan transportasi. Bahan bakar sintetis ini akan potensial digunakan untuk pesawat terbang dan kapal laut yang tidak memungkinkan menggunakan dari energi listrik.
Advertisement
Baca Juga
Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Gigih Udi Atmo mengatakan target bebas emisi karbon Indonesia menyesuaikan dengan perkembangan sektor energi. Pada tahun tersebut, diproyeksikan kebutuhan listrik di tanah air mencapai 1.942 TWh dengan konsumsi listrik per kapita sebesar 5.862 kWh/kapita.
"Beberapa tantangan yang kita hadapi sekarang soal penerapan teknologi tinggi dan sebagian teknologi itu masih diimpor. Kita memerlukan praktek rekayasa yang baik untuk mendorong sistem tenaga listrik, kehandalan dan harga yang masih relatif mahal dibandingkan bahan bakar fosil," katanya saat kegiatan Konferensi Internasional ASTECHNOVA ke-7 yang bertajuk Innovation for Managing Energy crisis itu.
Mendukung upaya tersebut, pembangkit listrik nasional sebagian besar akan bersumber dari variable renewable energy (VRE) sekaligus mengoptimalkan sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) lainnya untuk membantu menjaga stabilitas sistem. Selain itu, pihaknya juga mendorong Pembangkit listrik Nuklir akan mulai beroperasi pada tahun 2039 untuk menjaga keandalan sistem.
"Pada tahun 2060 hingga 31 GW pembangkit listrik tenaga nuklir akan dikerahkan," paparnya.
Untuk mendukung program Indonesia hijau bebas emisi karbon, potensi energi terbarukan sebesar 3.686 GW akan digunakan menghasilkan hidrogen hijau dengan didukung cadangan gas alam terbukti di Indonesia sebesar 41,62 TCF yang berpotensi dimanfaatkan untuk menghasilkan gas hidrogen sebagai sumber pembangkit listrik.
Sementara Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Selo dalam pidato sambutannya berharap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini dapat mewujudkan ketahanan energi dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
"Persoalan energi tengah jadi permasalahan global. Jika tidak segera diperbaiki, kita atau anak cucu kita bisa mengalami krisis energi. Dalam konteks ini, diperlukan jembatan kajian multidisiplin sebagai reaksi responsif dan untuk menyusun strategi bersama mewujudkan ketahanan energi berkelanjutan, yang dapat tersebar melintasi batas benua dan administratif," paparnya.
Rachmawan Budiarto, salah satu anggota panitia penyelenggara konferensi Internasional ASTECHNOVA mengatakan manajemen krisis energi global ini diselenggarakan oleh Fakultas Teknik UGM selama dua hari, 4-5 Oktober. Beberapa pembicara berkaitan bebas emisi karbon yang ikut hadir berasal dari Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Thailand, dan Kiribati.
"Salah satu pembicara dari Public Utilities Board dari negara Kiribati, Mary Rui. Kita sengaja mengundang beliau sebagai panelis. Selain membahas soal persoalan krisis energi global, kita ingin memperkuat kerja sama yang lebih kuat antara Indonesia dengan negara-negara di kepulauan Pasifik," katanya.