Sukses

Kabar dari Rempang: Warga yang Siap Direlokasi Mayoritas Pegawai Pemkot Batam dan BP Batam

Dari sekitar 300 warga yang bersedia direlokasi, kebanyakan para pendatang termasuk pegawai Pemkot Batam dan BP Batam.

Liputan6.com, Batam - Klaim  Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia bahwa 70 persen warga Pasir Panjang di Pulau Rempang, Batam, bersedia untuk direlokasi diragukan kebenarannya .

Bahlil menyebut jumlah warga yang bersedia direlokasi usai berkunjung ke Rempang dan bertemu dengan warga Tanjung Banun, Jumat (06/10).

Mengenai pemberitaan BP Batam yang beredar mengenai 70 persen warga Pasir Panjang yang bersedia untuk direlokasi salah satu tokoh masyrakat Pasir Panjang menyatakan bahwa berita tersebut tidak benar dan tidak sesuai fakta di lapangan.

Menurut salah satu warga RW 01 kelurahan Rempang Cate, warga yang asli sejak lahir dan besar di Pasir Panjang tetap menolak direlokasi. Penolakan ini linear dengan analisa pengamat sosial politik Rocky Gerung bahwa warga asli memiliki ikatan budaya dan sejarah sehingga sulit untuk melepas ikatan itu.

Menurut warga RW 01, dari 130 KK Pasir Panjang ada sekitar 25 KK yang bersedia dipindah.

"Mereka itu pendatang. Bekerja sebagai pengelola kebun, sebagian pegawai Pemkot Batam dan Pegawai BP Batam," kata warga yang selalu khawatir mendapat intimidasi dari petugas.

 

2 dari 3 halaman

Ombudsman: Pemerintah Jujurlah Seperti Janji Saat Kampanye

Sebelumnya Ombudsman Perwakilan Kepri menginvestigasi penolakan relokasi masyarakat Pulau Rempang dalam pengembangan Eco City. Dalam temuan sementara Ombudsman Kepri menyatakan ada temuan beberapa bentuk pelanggaran dan ketidakjujuran pemerintah dalam publikasi data terkait relokasi tersebut

Kepala Ombudsman Kepri, Lagat Siadari mengatakan telah mengunjungi tiga lokasi yang menjadi sasaran relokasi, Tanjung Banun, Pasir Panjang dan Sembulang. Pihaknya juga telah meminta klarifikasi kepada BP Batam.

"Kami menemukan malnteraksi. Ombudsman memberikan 4 saran korektif kepada pemerintah, yang harus disegerakan, " kata Lagat.

Saran Ombudsman Kepri meminta pemerintah kota Batam bersama BP Batam melakukan dialog atau musyawarah dengan masyarakat, tokoh-tokoh adat secara persuasif dengan menanggalkan seragam atau simbol aparat keamanan yang akan mempengaruhi psikologis warga.

"Masyarakat masih trauma dengan kejadian 7 September lalu, apalagi sampai saat ini, masih banyak aparat berseragam dan bersenjata berada di lokasi tersebut," kata Lagat.

Kedua, pemerintah kota Batam harus terlibat aktif dalam memulihkan stabilitas ekonomi warga dengan menjamin adanya pasokan pangan ke warung-warung milik warga.

"Atas kejadian ini, warga harus membeli pangan lebih mahal, karena tak lagi tersedia di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka harus pergi jauh untuk bisa membeli pangan dan tentunya dengan biaya yang lebih mahal lagi," kata Lagat.

Yang ketiga, meminta polisi membebaskan atau penahanan bagi warga yang ditahan khususnyanya saat bentrokan di Rempang tanggal 7 Septeber lalu maupun demo tanggal 11 September.

"Walau pun sebagian dari aksi tanggal 7 lalu ditangguhkan, kami minta dibebaskan. Karena kami melihat tidak ada urgensinya warga ditahan, kecuali yang terlibat pidana lainnya. Warga bukan penjahat, bukan kriminal," kata Lagat.

 

3 dari 3 halaman

Warga yang Menjadi Pegawai yang Mau Direlokasi

Keempat, Pemkot Batam dan BP Batam menyampaikan secara langsung baik lisan dan tertulis mengenai keputusan pemerintah tentang tidak adanya relokasi dalam waktu dekat. Sebab ketika beredar informasi waktu relokasi yakni tanggal 28 September, malah membuat warga was-was dan semakin trauma.

"Empat hal itu kami harapkan dilaksanakan pemko BP dan Polresta Barelang, pemerintah pusat diharapkan juga mendukung hal ini," kata Lagat.

Ombudsman juga menemukan bahwa sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) atas nama BP Batam belum diterbitkan. Dokumen AMDAL juga belum ada. Artinya tidak boleh ada kegiatan apapun terkait alih fungsi lahan sebab bisa terjadi penyalahgunaan wewenang yakni dokumen AMDAL hanya sebagai langkah pembenaran.

"Pemerintah harus jujur terkait data-data relokasi. Sama seperti ketika berbicara saat kampanye dulu yang mengedepankan kejujuran sebagai selling poin. Pemerintah melalui menteri Investasi pernah blunder dengan menyebut dokumen AMDAL sudah selesai tapi nyatanya belum. Kemudian disusul pernyataan ada ratusan warga yang bersedia direlokasi di tiga Kampung tadi. Faktanya hanya ada 3 KK saja. Nah ini, jangan sampai pemerintah menyajikan berita yang tidak benar," kata Lagat.

Apalagi Ombudsman telah datang ke tiga Kampung tadi untuk memastikan informasi tersebut. Dan faktanya, tidak ada warga yang mau direlokasi.

Sementara itu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Ferry Even Sembiring, membantah jika 70 persen warga Pasir Panjang telah bersedia direlokasi 

"Data kita, ada total 139 kepala keluarga di Pasir Panjang. Hanya sekitar 30-an yang bersedia direlokasi," kata Evan.

Ia juga meminta, dari 30 warga yang bersedia tersebut, harus dirincikan kembali siapa saja mereka dan status kepemilikan lahannya. Apakah mereka punya tanah di situ, mereka warga asli, mereka pegawai BP Batam atau TNI Polri. Siapa 30 ini, buka datanya.

Ia juga meragukan keakuratan data yang selama ini disampaikan BP Batam. Ia pun berharap, BP Batam bisa lebih terbuka dengan data yang mereka miliki.