Liputan6.com, Jambi- Prok… prok… prok…
Suara tepung tangan itu selama hampir semenit bergemuruh di depan pintu masuk Kantor Gubernur Jambi, pada Rabu siang (11/10/2023). Dalam applause mob dan aksi kreatif itu, belasan massa koalisi masyarakat sipil dari #BersihkanAsap memberi selamat atas kegagalan Pemerintah Jambi atas kegagalan penanganan kabut asap.
Baca Juga
“Ayo sama-sama kita kasih selamat, karena pemerintah sudah gagal melindungi warganya atas bencana polusi kabut asap yang melanda wilayah kita dalam sebulan terakhir,” kata Suang Sitanggang, satu di antara peserta aksi yang memimpin aksi sarkasme itu.
Advertisement
Dengan membawa atribut balon warna-warni dan poster gambar berbagai meme soal kabut asap itu, massa aksi tegak berdiri di depan pintu masuk. Sambil menunggu pejabat berwenang keluar untuk menemui mereka, satu persatu massa aksi berorasi menyampaikan tuntutannya.
Namun berselang satu jam aksi berjalan, tak satupun pejabat di dalam yang keluar menemui massa aksi. Hal ini menurut massa, membuktikan bahwa pemerintah abai terhadap hak-hak warga yang menuntut udara bersih dan sehat.
Koalisi masyarakat sipil #BersihkanAsap yang terdiri dari berbagai lembaga; Beranda Perempuan, AJI Jambi, SIEJ, Walhi Jambi, dan Perkumpulan Hijau itu menuntut pemerintah untuk bertanggungjawab atas bencana kabut asap yang terjadi di Provinsi Jambi. Bencana 4 tahunan, kabut asap ini mestinya bisa diantisipasi jika pemerintah berani mengevaluasi izin korporasi yang areanya terbakar, terutama di areal gambut.
Menengok ke belakang pada tahun 2015-2019 menjadi catatan kelam bagi Provinsi Jambi, yang mana dalam rentang tahun tersebut terjadi kebakaran seluas 238.401,3 hektar. Dari luasan tersebut 67 persen (158.971 Hektare) areal terbakar berada pada areal gambut dan sisanya 33 persen (79.430,3 Hektare) pada areal mineral.
Setelah 4 tahun berlalu, kini pada 2023 masyarakat Jambi masih dihadapkan bencana kabut asap. Dalam rentang bulan September 2023, udara di Provinsi Jambi sebagian besar dalam kategori tidak sehat dan sangat tidak sehat dalam indeks pencemaran udara (ISPU) dengan particulate matter (PM2,5). Sebanyak 7.717, khusus warga Kota Jambi terpapar Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang sebagian korbanya kelompok rentan seperti anak-anak.
Namun celakanya, dalam persoalan bencana kabut asap ini, Pemerintah Provinsi Jambi seperti lepas tangan. Alih-alih melindungi warganya, Pemprov Jambi malah melempar tanggungjawab bahwasanya asap yang menyelimuti wilayahnya berasal dari provinsi tetangga.
“Polusi kabut asap adalah lintas batas dan tidak mengenal batas wilayah. Tidak lempar tanggungjawab begitu, seharusnya kebijakannya adalah melindungi warganya dari paparan asap,” kata Direktur Beranda Perempuan Ida Zubaidah.
Menurut Ida Zubaidah, pemerintah tidak tanggap dalam merespon kabut asap. Padahal ini adalah bencana berulang yang mestinya dapat ditanggulangi, bukan dianggap biasa.
Tidak sedikit masyarakat yang tinggal dekat titik api mengalami gangguan kesehatan dan tidak ada sama sekali layanan kesehatan yang diberikan pemerintah. Khususnya bagi kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, dan anak-anak.
"Seharusnya pemerintah membuka layanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang tinggal di desa dekat dengan wilayah konsesi yang lahannya terbakar," kata Ida.
Evalusasi Perizinan dan Keterbukaan Informasi Publik
Direktur Perkumpulan Hijau Feri Irawan menilai pemerintah telah gagal melindungi warganya dari bencana kabut asap. Saat ini kata Feri, kebakaran yang terjadi hingga berdampak pada polusi kabut asap menjadi muara dari monopoli air dan lahan.
Hal itu kata Feri, semua terjadi karena sengkarut pemberian izin pemerintah kepada korporasi, terutama di kawasan gambut. Gambut mestinya dikembalikan fungsinya sebagai ekosistem lindung.
“Kalau gambut sudah diberikan izin, pasti perusahaan mengeringkan gambut, air yang harusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari lahan gambut dikeringkan untuk pertanian monokultur/HTI, saat kemarau gambut menjadi kering dan mudah terbakar," kata Feri.
Berdasarkan hasil analisis Walhi Jambi banyaknya kebakaran pada areal gambut merupakan dampak dari banyaknya izin perusahaan yang di berikan, aktivitas pengeringan gambut/kanalisasi yang dilakukan oleh perusahaan.
Manajer Kajian dan Pembelaan Hukum pada Walhi Jambi Dwi Nanto mengatakan, kebakaran lahan yang terjadi di kawasan gambut, tidak bisa dilepaskan oleh buruknya tata kelola yang dilakukan perusahaan. Dengan melakukan proses pengeringan air gambut di wilayah konsesinya sangat memudahkan terjadinya peristiwa karhutla itu.
Walhi Jambi mendesak paradigma pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan pemerintah harus diubah. Prioritas pencegahan mestinya menggunakan pendekatan evaluasi tata kelola perizinan di wilayah gambut.
Lemahnya pengawasan kepada perusahaan ditengarai menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Negara dalam hal ini pemerintah sudah seharusnya berpikir untuk berhenti menjadi pemadam kebakaran bagi penjahat lingkungan.
Pemerintah yang diberikan mandat oleh rakyat juga harus memberikan sanksi dan penegakan hukum yang tegas kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran dalam kegiatan operasional dan berakibat kepada timbulnya kebakaran hutan dan lahan yang berulang.
Dan pengurus negara ini sambung Dwi, tidak boleh terus membebani rakyat untuk mitigasi dan penanganan karhutla, hanya dengan melakukan modifikasi cuaca. Sebab hal ini tidak menjawab akar persoalan karhutla, karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap korporasi. "Pemerintah harus berani menindak perusahaan yang sengaja mengeringkan gambut," kata Dwi.
Sementara itu, Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi Gresi Plasmanto mendesak pemerintah dalam keterbukaan informasi publik, terutama akses informasi publik atas bencana kabut asap. Hal ini sesuai Undang-undang No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
Keterbukaan informasi publik adalah salah satu unsur dalam kehidupan berdemokrasi dan menjadi kewajiban bagi setiap pemerintahan daerah. Hal ini supaya publik bisa ikut mengontrol kebijakan pemerintah dalam mengatasi bencana kabut asap.
AJI Jambi juga mengajak seluruh pekerja media untuk bersama-sama mengawal kebijakan publik di masa bencana polusi kabut asap, dengan tetap taat pada kode etik jurnalistik dan memiliki perspekif terhadap warga yang terdampak. "Peran media yang kritis dan konstruktif sangat dibutuhkan untuk mengawasi jalannya kebijakan pemerintah dalam mengatasi dampak dari bencana kabut asap," ujar Gresi.
Advertisement