Sukses

Mengenal Operasi Minimal Invasif, Sayatan Kecil dan Bebas Nyeri

Tindakan operasi atau bedah, kerap dianggap sebagai momok yang menakutkan bagi sebagai masyarakat. Sebab, pada prakteknya kerap membutuhkan sayatan yang besar.

Liputan6.com, Jakarta Tindakan operasi atau bedah, kerap dianggap sebagai momok yang menakutkan bagi sebagai masyarakat. Sebab, pada prakteknya kerap membutuhkan sayatan yang besar.

Namun seiring perkembangan teknologi, paradigma tersebut mulai berubah. Hal ini berkat hadirnya metode minimal invasif dalam pembedahan.

Operasi minimal invasif merupakan teknik bedah menggunakan laparoskopi yang memanfaatkan alat bantu kamera, monitor dan instrumen khusus.

Dokter spesialis bedah Rumah Sakit Royal Progress (RSRP) dr Ika Megatia mengatakan, jika metode minimal invasif memiliki berbagai keunggulan, seperti sayatan yang minim, risiko infeksi luka pasca operasi yang rendah, pemulihan yang lebih cepat, dan tingkat keamanan yang tinggi.

Bahkan jika memungkinkan, pasca operasi para pasien dapat pulang pada hari yang sama. Hal itu membuka harapan baru bagi pasien untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.

"Jika pada operasi konvensional dilakukan pembedahan terbuka dengan sayatan yang relatif besar, maka dengan tindakan minimal invasif, luka operasi yang dihasilkan berukuran kecil hanya berkisar antara 5-15 mm sehingga rasa sakit setelah pembedahan jauh berkurang dan pemulihan pasca tindakan lebih cepat," ungkap Ika Megatia.

Sementara itu, Direktur Utama Rumah Sakit Royal Progress (RSRP) dr. Ivan R. Setiadarma, MM mengatakan metode minimal invasif dapat digunakan sebagai terapi dan pengobatan seperti berbagai jenis penyakit, pencernaan, usus buntu, hernia, empedu, infeksi, dan lain sebagainya.

Tak hanya itu, bedah minimal invasif djuga apat digunakan untuk mendiagnosis berbagai jenis penyakit secara lebih dalam dan di banyak tempat dalam tubuh manusia.

"Bisa juga untuk diagnostik, kan dimasukkan kamera ke rongga perut sehingga bisa dilihat organ-organ yang lain juga seperti apa," pungkas dr Ivan R Setiadarma.

Â