Liputan6.com, Yogyakarta - Munculnya media sosial yang meraup keuntungan melalui gift atau hadiah dari penonton live streaming ini cenderung mengarah pada aksi layaknya pengemis online. Pemerintah melalui Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo juga telah meminta platform TikTok untuk melakukan take down atau penurunan konten terkait aktivitas mengemis online.
Realita masyarakat ini membuat mahasiswa UGM Alfia Rahma Permatasari, Avisena Kemal Elsyifa, Jatayu Bias Cakrawala, Wahida Okta Khoirunnisa tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan survei penelitian secara acak.
Dari penelitian tersebut, diitemukan sekitar 97% dari 98 orang menyatakan pernah menyaksikan konten TikTok Live yang menunjukkan adegan ekstrem untuk eksploitasi kemiskinan seperti mandi lumpur, menyiram tubuh dengan air, dan sebagainya. Bahkan dari sejumlah partisipan penelitian yang pernah memberikan koin atau gift kepada pembuat konten, sebanyak 22 orang berjenis kelamin laki-laki dan 15 orang perempuan.
Advertisement
“Laki-laki lebih menunjukkan empatinya pada pembuat konten dibandingkan dengan perempuan,” kata Alfia Rahma Permatasari dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa 17 Oktober 2023.
Baca Juga
Alfia mengatakan pada umumnya masyarakat mengakui miris adanya pengemis online. Sebab banyak masyarakat menilai masih bisa memilih banyak ide konten yang lebih berguna, bermanfaat dan kreatif juga edukatif.
“Isu terkait ‘ngemis dan nyawer online’ di TikTok ini cukup memprihatinkan dan memperlihatkan kebodohan pembuat konten untuk memperjualbelikan empati audiens,” papar mahasiswa Fakultas Psikologi ini.
Fakta tentang konten yang mengeksploitasi kemiskinan di media sosial tidak mudah mudah untuk dihentikan karena praktik ini akan terus muncul di dunia maya. Sehingga penting untuk memiliki strategi dari pengambil kebijakan dalam menangani konten eksploitasi kemiskinan ini.
Soal adanya pengemis online ini Jatayu Bias Cakrawala, anggota tim PKM lainnya, mengusulkan adanya pembatasan hingga penghapusan konten-konten yang berbau “ngemis” online. Selain penting juga untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran diri dari setiap individu masyarakat, dan memberikan edukasi sederhana dan dipromosikan melalui media sosial.
“Perlu juga memfasilitasi para content creator untuk mengembangkan konten yang lebih mengedukasi dan meningkatkan literasi digital masyarakat,” kata mahasiswa prodi ilmu komunikasi Fisipol UGM ini.