Sukses

Sekelumit Kisah Lain Farida Hariyani, Amplifikator Pelanggaran HAM di Aceh

Nama Farida Haryani moncer sebagai salah satu amplifikator kunci yang berperan dalam menyibak kabut gelap kekerasan militer di Aceh.

Liputan6.com, Aceh - Sewaktu Farida Hariyani masih berada di kelas satu sekolah menengah pertama, desanya menjadi tempat yang sering dilintasi oleh truk-truk tentara. Truk-truk ikonik terbitan REO Motor Car Company itu dikemudikan dengan pongah dan ugal-ugalan.

Apabila melihat truk tersebut muncul di kejauhan, warga desa harus segera menyingkir jika tidak ingin digilas. Sering di antara penduduk ada yang terjatuh dari sepeda motor sewaktu menghindar saking paniknya.

Hal seperti ini berlangsung dari hari ke hari dan membuat Farida menyimpan rasa dongkol. Sekali waktu gadis itu memprovokasi teman-temannya untuk menyoraki satu truk tentara yang kebetulan melaju di depan sekolah mereka.

Satu, dua, tiga, mereka pun berteriak beramai-ramai, “Cangguk ijo! Cangguk ijo!!!”

Para siswa sedang menikmati jam istirahat waktu itu. Di dalam ruang kelas hanya ada Farida beserta lima gadis badung lain, teman-teman satu gengnya. ‘Cangguk ijo‘ berarti kodok hijau, merujuk pada warna dominan dari seragam yang dikenakan tentara.

Sialnya, tentara-tentara itu ternyata mendengar ledekan mereka sehingga truk tersebut pun berhenti. Beberapa tentara turun dari truk memasuki halaman sekolah. Mereka terlihat tidak senang.

Melihat tentara-tentara tersebut, Farida dan teman-temannya lari kalang kabut ke toilet sekolah. Mereka bersembunyi di sana sampai tentara-tentara itu pergi.

Kepala sekolah mereka saat itu yang harus menanggung getah dari kelakuan iseng Farida cs.

“Jadi yang kena marah waktu itu kepala sekolah,” kenang Farida terkikik.

Insiden mengejek tentara pada hari itu menandai salah satu fase kehidupan Farida yang kelak bertungkus lumus dalam dunia yang masih ditekuninya hingga saat ini.

Di sudut desa Farida terdapat pos militer, yang merupakan alih fungsi dari meunasah, didiami tentara yang disuplai dari luar daerah selama program ABRI Masuk Desa (AMD) berlangsung. “Orang-orang itu nggak bisa berbahasa Aceh,” kata Farida.

Salah satu di antara tentara yang dikirim ke desa selama program AMD itu ternyata menaruh hati kepada Farida, bahkan pernah mengirimkan surat cinta kepadanya. “Namanya Ginting,” ujarnya.

Adakala lelaki itu sengaja lewat di depan Farida dengan sepeda sembari membunyikan bel berkali-kali untuk menarik perhatian sang gadis pujaan. Tak jarang pula ia ikut nimbrung ketika Farida dan teman-temannya duduk beristirahat di kedai yang ada di sepanjang jalan sepulang sekolah.

“Nanti (tiba-tiba) dia sudah ada di samping, sudah ngomong nanti sebentar, pelajaran apa hari ini? Gitu-gitulah,” tutur Farida.

Bentuk perhatian Ginting kepadanya ternyata juga bikin Farida kepikiran. Namun, kisah romansa antara mereka tampaknya tak akan sampai ke mana pun. Keluarga Farida rupanya melarang keras gadis itu bergaul dengan tentara. “Bicara saja tidak boleh,” kisah Farida.

Bukan karena Farida anak orang terpandang atau camat di daerah itu, tetapi keluarganya takut terjadi apa-apa terhadap Farida. Keluarganya tahu betul sepak terjang tentara di desa mereka.

Ayah Farida sendiri merupakan eks pejuang DI/TII yang ditarik menjadi tentara sebagai wujud pengampunan dosa-dosa pemberontakan dan penyatuan terhadap NKRI. Harapan Ginting pun seketika patah lalu sirna.

Setelah masa tugasnya berakhir, tentara muda itu sempat mendaratkan surat terakhirnya kepada Farida. “Dia pergi, minta maaf, segala macam. (Namun), saya sudah nggak peduli lagi. Saya juga sudah mengerti,” Farida tertawa tipis saat menceritakan bagian ini.

2 dari 4 halaman

Tentara Maling Sendal

Selentingan kabar menyebut bahwa tentara-tentara di desanya sering memanfaatkan para gadis untuk keperluan remeh-temeh seperti mencuci baju. Farida berang kala mengetahui ternyata kakaknya selama ini juga ikut dijadikan sebagai babu cuci gratis oleh tentara.

Tentara-tentara itu bahkan datang ketika orang tua kakak sepupunya sedang tidak berada di rumah.

Setamat SMP, Farida disekolahkan di salah satu sekolah menengah atas yang ada di Banda Aceh. Kembali dari ibu kota, ia kaget mengetahui tentara telah menerapkan kebijakan yang mengharuskan penduduk meminjamkan harta benda yang dimiliki secara sukarela atas nama tugas negara.

Di menasah-menasah dilangsungkan pengumuman oleh setiap kepala desa agar seluruh penduduk segera mencatat harta benda yang mereka miliki. Aset seperti sepeda motor akan dipakai oleh tentara secara bergiliran berdasarkan jadwal yang telah ditentukan.

Ketika jadwalnya tiba nanti, si empunya kendaraan wajib mengantar sendiri motornya dalam kondisi mesin fit serta bensin telah terisi penuh. Tentara juga merongrong ayah Farida agar merelakan satu-satunya mobil pikap keluarga itu untuk dipinjamkan.

Ayah Farida bersikukuh, ia tidak rela jika pikapnya bernasib sama seperti sepeda motor yang selama ini mereka pinjamkan. Kondisinya rusak berat.

Karena terus merengek soal mobil, penduduk pun dengan terpaksa patungan membeli kendaraan roda empat untuk keperluan tentara.

“Dia (tentara) operasi pakai mobil yang dibeli sama masyarakat,” ungkap Farida.

Mobil jenis pikap yang dibeli dengan uang hasil urunan penduduk menurut Farida kelak digunakan untuk mengangkut mayat orang-orang yang telah dibunuh tentara.

Suatu hari adik Farida kehilangan sandal. Sebagai gantinya, sepasang sandal jepit butut ditaruh menggantikan sandal yang baru saja diambil. “Kalau anjing yang ambil pasti hanya sebelah,” Farida berpikir.

Ia baru menyadari bahwa seorang tentara baru saja mengantarkan sepeda motor yang sudah berhari-hari dipinjam. Farida curiga, pelakunya pastilah tentara tadi. Tanpa berpikir panjang, Farida memantapkan tekad datang seorang diri ke pos tentara. Benar saja, sepasang sandal yang tengah dicarinya tergeletak di sana.

“Pak, itu sendal adik saya,” ujar Farida kepada seorang tentara yang kebetulan sedang duduk di pos.

Tentara itu terkejut melihat seorang perempuan tiba-tiba datang kemudian tanpa ba-bi-bu berceloteh tentang sandal. “Kok berani sekali kamu bilang itu sendal kamu?” tentara itu mendelik.

Farida pun mengangkat sandal butut yang telah ditukar dengan sandal adiknya. Tak berapa lama kemudian, seorang prajurit berpangkat rendah tiba-tiba muncul lalu mengaku telah menukar sendal tersebut dengan sengaja.

Atasannya marah, tentara itu pun mendapat hukuman. Dihajar mentah-mentah di depan muka Farida. Farida pulang dengan hati senang. Namun, sesampai di rumah, ia langsung kena damprat.

Ayah Farida marah besar mengetahui putrinya terlibat masalah dengan tentara. Pak tua tersebut khawatir karena situasi di desa saat itu mulai mencekam. Sebuah kilang padi tak jauh dari desa mereka baru-baru ini mendapat teror.

Sesosok mayat teronggok di depan pintu pabrik penggilingan padi usai pemiliknya menolak memberikan jatah beras kepada tentara. Saat itu Farida menginjak kelas dua sekolah menengah atas, sementara ayahnya telah pensiun dari jabatannya sebagai camat.

Hari-hari Farida diisi dengan banyak mendengar serta menyaksikan langsung pelbagai kekerasan yang dipertontonkan oleh militer. Dalam sebuah perjalanan tengah malam dari Pidie ke Medan, tentara menyetop sebuah bus kemudian menyuruh seluruh penumpangnya turun.

Farida tercatat sebagai mahasiswi di Fakultas Pertanian Universitas Iskandar Muda di Banda Aceh, ketika militer kian intens melakukan razia di Aceh. Razia-razia serupa acapkali dilakukan untuk menjaring orang-orang yang diduga berafiliasi dengan gerakan kemerdekaan. Farida ada di dalam bus itu.

Dia ikut merasakan bagaimana sang sopir harus dengan berat hati menekan gas setelah ditodong tentara dengan moncong senapan. Bus pun melaju di kegelapan malam.

Sementara di dalam bus tadi, seorang ibu meraung-raung melihat anak lelakinya ditinggalkan di luar sana. Entah bagaimana nasib anak itu kemudian.

3 dari 4 halaman

Menagih Ganti Rugi Kebun Kelapa yang Disatroni Tentara

Di hari yang lain, tukang kebun keluarga Farida pernah datang mengadu bahwa sekumpulan tentara baru saja menebangi puluhan pohon kelapa milik mereka tanpa izin. Mendengar kabar tersebut Farida berang bukan kepalang.

Diam-diam Farida mendatangi kantor Komando Rayon Militer setempat. Ia minta diberi waktu untuk bertemu dengan Danramil.

Ketika tiba saatnya bertemu dengan sang komandan, Farida pun mulai bercerita bahwa sekelompok tentara telah mengambil yang bukan hak mereka.

“Kita kan, sama-sama belajar P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila). Tentara itu mengayomi masyarakat,” kata Farida kepada lelaki berseragam di depannya. Entah karena tersentuh dengan penjelasan gadis yang sedang duduk di depannya tentang nilai-nilai Pancasila, tentara itu pun tampak berpikir sejenak.

Dia lalu bertanya apakah Farida tahu ciri-ciri serdadu yang telah menebangi pohon kelapanya tadi. “Enggak tahu, pak. Mana saya tahu, yang penting kelapa saya sudah dipotong,” jawab Farida.

Farida mengatakan bahwa ia hanya ingin ganti rugi. Titik. Syukur, usaha beraninya itu tidak sia-sia.

Sang komandan mengambil tanggung jawab untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi sesuai permintaan Farida. “Waktu itu besar dikasih. Ada satu jutaan begitu,” sebut Farida. Seseorang rupanya melihat Farida datang ke kantor Koramil. Kabar pun segera sampai ke telinga keluarganya.

Mereka panik, apa yang dilakukan gadis itu di sana? Keluarga takut sesuatu yang buruk telah menimpanya. Untung Farida pulang dalam kondisi tidak kurang satu apa pun.

Farida kemudian berusaha menjelaskan tentang tujuannya datang ke kantor Koramil tersebut. Dengan bangga, perempuan itu memperlihatkan segepok uang sebagai ganti rugi kebun kelapa mereka yang telah disatroni tentara. Tetapi abangnya malah semakin panik mendengar hal tersebut. Farida mulai berani berurusan dengan tentara.

Selanjutnya, ketika program ‘jaga malam’ diberlakukan di Aceh, tentara suka menyetrap penduduk yang mereka nilai tidak koordinatif. Farida sering kedapatan menguping pembicaraan antara om (paman) dan ayahnya tentang penduduk yang dipaksa mandi air comberan karena ketiduran selama berjaga malam.

Farida lagi-lagi akan kena semprot ayahnya karena suka mencampuri hal yang bukan menjadi urusannya. Suatu hari, keponakan laki-laki Farida yang selama ini kuliah di Sumatera Utara pulang kampung.

Karena takut disebut sombong, keponakannya berpikir tidak ada salahnya jika ia ikut nimbrung bersama sejumlah warga di poskamling nanti malam.

Farida sudah berusaha melarang keponakannya agar tidak keluar malam-malam, tetapi anak itu meyakinkan bahwa dirinya tak akan berlama-lama, hanya ingin mengaso saja sebentar. Ia tidak bisa menahan keponakannya, malam pun berjalan dengan cepat.

Farida terbangun ingin buang air kecil ketika ia mendengar suara seperti orang mengerang kesakitan dari dalam kamar keponakannya. Di dalam kegelapan, anak itu meringkuk seperti cangkang keong, memeluk tubuhnya sendiri yang sudah dipenuhi lebam serta luka lecet di mana-mana.

“Ya Allah, Tuhan. Kami sudah menangis semua,” Farida dan seluruh keluarganya histeris, keponakannya muntah-muntah. Menurut Farida, tentara yang sedang berpatroli merasa kesal karena orang-orang di poskamling tidak menegur mereka.

Zulfadli, keponakan Farida menerima hukuman paling besar karena duduk membelakangi tentara. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, nama Zulfadli ternyata tidak tertera di dalam daftar giliran regu yang berjaga malam itu.

Orang-orang berseragam menghajarnya habis-habisan, menyesakkan tubuhnya yang gempal ke dalam mulut parit yang bergerigi tajam nan sempit. Mereka tidak peduli ketika ia berteriak meraung-raung meminta ampun.

Sejak diberlakukan, kewajiban untuk berjaga di malam hari di Aceh menjadi rutinitas di pelosok-pelosok. Tujuannya untuk menjadikan warga sebagai bagian dari pagar betis alias tameng hidup jika sewaktu-waktu terjadi kontak senjata.

Seperti yang dialami oleh Zulfadli, kewajiban berjaga di malam hari di Aceh bersulih menjadi memoar kolektif yang menyimpan banyak kenangan buruk di dalamnya. Sebagian aksi kekerasan militer yang berlangsung di Aceh dapat disaksikan melaluinya.

Terdapat waktu di mana tentara bisa dengan tiba-tiba menurunkan seseorang dari atas mobil, kemudian menyeretnya ke hadapan penduduk yang sedang berjaga malam. Kebanyakan yang diseret kondisinya sekarat, hanya mengenakan celana dalam saja.

“Nanti, orang itu (tentara) bilang begini, ‘kalian mau oleh-oleh enggak?” Farida bercerita. Oleh-oleh yang dimaksud tentu saja orang yang mereka seret barusan.

4 dari 4 halaman

Kakek Misterius pada Pagi Berdarah

Menurut Farida, pada masa itu, tentara suka meminta warga untuk menembak orang yang barusan mereka bawa. Jika menolak, maka mereka harus menggantikan posisi orang tersebut.

Dini hari, Farida tetiba dikejutkan oleh suara letusan senjata api yang mengoyak udara. Ayah Farida juga ikut terbangun karena suara tembakan barusan, dan langsung menangkap gelagat putrinya.

“Kamu jangan coba-coba ke luar. Jangan ke mana-mana!” ayahnya mengingatkan.

Tentara pernah menginstruksikan, jika ingin mengevakuasi jenazah orang yang baru saja mereka tembak, maka harus dilakukan enam jam setelah insiden penembakan. “Kalau enggak, yang mengambil akan menjadi korban,” kata Farida.

Namun, pagi itu ada sesuatu yang amat kuat yang telah mendorong Farida. Setelah memastikan ayahnya sudah kembali ke kamar dan tertidur pulas, Farida pun segera memutar stang sepedanya. Ia mengayuh sepeda bututnya membelah kabut pagi yang dingin, mencari sumber letusan.

Seperti yang sudah diduga dari awal, tiga desa (Pulo, Babah Krueng, Uteun Bayu) yang dilewati oleh Farida sunyi belaka. Ini disebabkan penduduk yang ketakutan memilih untuk berpura-pura tak mendengar apapun.

Mereka lebih baik mengunci diri di dalam rumah masing-masing sampai semuanya terasa kondusif. Daripada berurusan sama tentara, bisa berabe nanti.

Farida pun mulai menimbang-nimbang, tidak ada-ada tanda-tanda yang menunjukkan lokasi peristiwa penembakan dini hari. Di tengah rasa kebingungannya, tetiba muncul seorang kakek-kakek tidak dikenal yang langsung mencegatnya.

“Nak, di sana ada mayat, bekas ditembak semalam,” kata orang tua itu. Kakek tersebut memohon kepada Farida untuk melihat mayat itu sejenak.

Ternyata itu adalah mayat seorang pria yang telentang hanya mengenakan celana dalam, teronggok di pinggir jalan dekat sebuah kios. Kepalanya pecah, otaknya memburai dan berceceran. Farida bergidik.

Melihat langsung mayat korban penembakan seperti itu dari jarak dekat adalah pengalaman pertama baginya. Namun, lagi-lagi ada sesuatu yang kuat yang mendorong Farida, dan ia pun segera menarik tangan kakek tersebut.

“Kek, ayo, tidak perlu takut, biar saya yang bertanggung jawab,” ajaknya.

Mereka mendekat lalu menyeret mayat tersebut agak ke pinggir, kemudian menutupi tubuh yang sudah layu itu seadanya. Sementara itu, serpihan-serpihan otak tadi dipungut satu persatu ke dalam kantong kresek lalu dipindahkan ke dekat pemiliknya.

Ia dan kakek misterius tadi memutuskan untuk melaporkan keberadaan mayat tersebut kepada penduduk lain. Mereka berpisah, Farida ke arah sebaliknya, begitu pun kakek tersebut.

Sembilan jam kemudian barulah penduduk berani mengevakuasi dan menguburkan mayat yang sudah membeku di pinggir jalan itu. Sepanjang hidupnya, Farida mengaku tidak pernah melihat kakek tadi.

“Mungkin malaikat,” kata dia.

Setelah hari itu, kemarahannya terhadap kekejaman yang dilakukan oleh militer terhadap warga sipil selama konflik Aceh berkecamuk kian menjadi-jadi. 

Salah satu jasa terbesar yang pernah dilakukan Farida ialah berhasil meyakinkan DPR RI untuk menurunkan tim ke Aceh demi membuktikan adanya kekerasan militer yang berlangsung di sana. Kala itu, DPR RI turun melalui tim yang diketahui oleh Hari Sabarno, ketua dari Fraksi ABRI kala itu.

Dari tim kecil inilah kabut gelap kekerasan militer yang menyelimuti kamp konsentrasi Rumoh Geudong terungkap. Perempuan itu juga berhasil menyeret tim untuk membongkar kuburan massal dan mengangkat 12 kerangka manusia di Aceh Utara.

Berselang dua pekan usai penelusuran tim yang didampingi oleh Farida itu, status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pun dicabut. Saat ini, Farida adalah direktur Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh (PASKA) yang berpusat di Pidie | Tulisan yang sama sebelumnya tayang di Masakini.

Video Terkini