Sukses

Putusan MK Soal Gugatan Batas Usia Capres Maksimal 70 Tahun, Ini Ketentuannya

Pada Senin (23/10/2023) Mahkamah Konstitusi (MK) telah resmi menolak gugatan dari sejumlah pemohon terkait pemilu. Di antaranya menolak gugatan batas usia capres maksimal 70 tahun.

Liputan6.com, Bandung - Mahkamah Konstitusi (MK) telah resmi memutuskan untuk menolak gugatan batas maksimal usia calon presiden (capres) 70 tahun. Sidang tersebut dilakukan secara terbuka dan untuk umum pada Senin (23/10/2023).

"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," ujar Ketua MK Anwar Usman mengutip dari Antara.

Diketahui, gugatan tersebut diajukan oleh tiga WNI yaitu Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro yang dikuasakan kepada Aliansi 98. Adapun gugatan tersebut mengantongi nomor perkara 102/PUU-XXI/2023.

Melalui gugatan tersebut mereka meminta agar batas usia capres maksimal 70 tahun serta tidak pernah cedera karena terlibat pelanggaran HAM. Selain itu, ada sejumlah perkara terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diputuskan pada hari ini.

Di antaranya gugatan mengenai perkara 107/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Materil UU Pemilu dengan pemohon Rudy Hartono. Ia menggugat UU Pemilu dan berharap adanya batas capres/cawapres minimal 40 tahun dan maksimal 70 tahun.

Kemudian, terdapat gugatan dari pemohon Gulfino Guevarrato dengan nomor perkara 104 yang meminta agar syarat usia para wakil presiden tersebut terpenuhi. Serta wakil presiden ditetapkan “setidaknya berusia 21 tahun dan paling banyak 65 tahun pada saat pengangkatan pertama mereka”.

Adapun permohonan tersebut saat ini resmi ditolak oleh MK dengan kesimpulan jika permohonan tersebut telah kehilangan objek. Hal tersebut dikarenakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu telah memiliki makna baru sebagaimana putusan MK pada 16 Oktober 2023.

“Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah kehilangan objek,” ujar Anwar.

2 dari 2 halaman

Permohonan Dinilai Dapat Menimbulkan Redundansi

Terhadap permohonan penambahan norma baru pada Pasal 169 huruf d UU Pemilu, MK berpendapat jika permohonan pemohon bisa menimbulkan redundansi atau kelimpahan makna.

Menurut MK, redundansi tersebut berdampak pada adanya pengulangan makna yang memiliki kecenderungan keragu-raguan. Apalagi dapat mempersempit cakupan norma dasar yang secara natural terdapat dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu yang dimaksud.

MK menegaskan jika pasal tersebut sesungguhnya telah mencakup makna sangat luas di antaranya semua jenis tindak pidana berat. Termasuk di antaranya adalah tindak pidana yang dimaksud oleh para pemohon sebagaimana petitum permohonannya.

Maka dari itu, pihak MK menyatakan bahwa pokok permohonan para pemohon terkait Pasal 169 huruf d UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum.

“Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf d UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Anwar.