Sukses

Cegah Kapal Rohingya Masuk ke Aceh, TNI AL dan Pemkot Lhokseumawe Disebut Langgar Hukum Internasional

TNI AL dan Pemkot Lhokseumawe menggelar patroli untuk mencegah kapal imigran Rohingya masuk ke Aceh.

Liputan6.com, Aceh - Aksi patroli oleh pihak TNI Angkatan Laut (Lanal) Lhokseumawe bersama Pemerintah Kota Lhokseumawe untuk mencegah masuknya kapal pengangkut pengungsi Rohingya ke perairan Aceh ditentang oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil. Tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang berlaku.

Sebelumnya, sebanyak 36 orang imigran 'manusia perahu' Rohingya dikabarkan kembali mendarat di Aceh melalui perairan Bireuen pada Senin (16/10/2023). Selang beberapa hari kemudian, otoritas setempat mulai menggelar patroli dengan kapal KAL Bireuen I-1-70 untuk mencegah masuknya kapal pengangkut pengungsi lanjutan.

Berita menyebutkan bahwa otoritas setempat mendapat info adanya kapal lanjutan yang mendekat ke perairan Aceh yang berkemungkinan akan mendarat di ujung utara pulau Sumatera. Pemerintah Kota Lhokseumawe, melalui Pj. Wali Kota Lhokseumawe, Imran, bahkan mendukung patroli TNI AL dengan dalih seperti mengantisipasi peredaran narkotika dan penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dilarang.

Pj. Wali Kota Lhokseumawe, Imran, turut menyinggung soal para pengungsi yang ditempatkan di kamp pengungsian sementara, yang telah pergi meninggalkan kamp. Pengungsi yang pergi meninggalkan kamp ini disebut Pj. Wali Kota Lhokseumawe, Imran telah 'hilang tanpa keterangan yang jelas'.

Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari, SUAKA, Amnesty International, dan JRS, menilai patroli yang dilakukan oleh pihak TNI AL dan Pemkot Lhokseumawe bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi yang teridentifikasi di wilayah Indonesia.

Perpres tersebut mengedepankan semangat penerimaan dan pemberian akses bagi pengungsi untuk mencari dan mendapatkan suaka sebagai bentuk perlindungan terhadap. Di dalam perpres tersebut tidak ditemukan adanya ketentuan yang menghalangi atau mencegah masuknya pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia. 

"Keputusan yang diambil pemkot dan TNI AL sangat kami sayangkan karena tidak menghargai hak manusia dalam mencari suaka dan bertentangan dengan Perpres 125/2016," tegas Koordinator KontraS Acah, Azharul Husna, mewakili salah satu organisasi masyarakat sipil, Kamis (26/10/2023).

2 dari 2 halaman

Langgar Hukum Internsional

Patroli yang dilangsungkan oleh prajurit dari Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Lhokseumawe bersama aparatur Pemerintah Kota Lhokseumawe untuk menghalau masuknya kapal pengangkut pengungsi ke perairan Aceh dinilai juga bertentangan kaidah hukum dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang selama ini diimplementasikan dalam penerimaan kedatangan pengungsi. 

Seperti, hukum internasional melalui pasal 98 ayat 1 The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang menegaskan kewajiban negara untuk memberikan asistensi dan melakukan penyelamatan terhadap setiap orang yang terancam hilang di laut. 

Selanjutnya, pada bab dua annex International Convention on Maritime and Search Rescue (Konvensi SAR), khususnya pada paragraf 2.1.1, ditegaskan bahwa negara berkewajiban untuk membuat mekanisme penyelamatan dan segera memberikan bantuan kepada kapal yang sedang dalam keadaan darurat. 

"Penting untuk dicatat bahwa Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan kedua Konvensi ini, sehingga kewajiban negara terhadap isi-isi konvensi ini mengikat secara hukum," ujar Azharul Husna.

Selain itu, dalam pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dijamin adanya hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain untuk menghindari persekusi. 

"Dari sini, dapat disimpulkan jika pemerintah dan pihak berwenang Indonesia tidak berupaya melakukan penyelamatan terhadap Rohingya yang sedang berada dalam kesulitan di laut, maka hal tersebut dinyatakan melanggar hukum internasional," tegas Azharul Husna.

Tidak hanya itu, pengabaian tersebut juga termasuk pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement, yaitu sebuah prinsip dari hukum kebiasaan internasional yang melarang negara untuk menolak atau mengusir pengungsi ke negara asal atau wilayah lainnya di mana mereka akan dihadapkan dengan bahaya yang tidak dapat dipulihkan (irreparable harm).

"Selain itu, masyarakat dan nelayan Aceh disebut telah lama mengakui adanya hukum adat untuk memberikan pertolongan bagi siapa pun yang mengalami keadaan darurat di laut. Sehingga, operasi pengamanan dan pencegahan kedatangan pengungsi Rohingya bukan hanya tidak sesuai dengan hukum internasional, tetapi juga dengan kaidah-kaidah adat laut yang telah ada sejak dahulu serta eksis hingga kini," pungkas Azharul Husna.