Liputan6.com, Aceh - "Perhatian, video ini berisi materi adegan kekerasan dan adegan sensitif yang mungkin menimbulkan efek trauma untuk beberapa kalangan," kemunculan kalimat peringatan menandai dimulainya pemutaran film dokumenter besutan Watchdoc Documentary di pelataran LBH Banda Aceh, Jumat malam (27/10/2023).
Di emperan maktab organisasi nonpemerintah itu, lampu yang sebelumnya menyala kini telah dipadamkan. Orang-orang yang duduk di kursi penonton berbicara dengan nada setengah berbisik.Â
Baca Juga
Raut penasaran tampak dari wajah-wajah yang terpapar cahaya layar tancap. Berselang tujuh detik setelah kalimat peringatan muncul, para pirsawan perlahan memasuki Nisan tanpa Keadilan.
Advertisement
Kala itu langit tampak kejingga-jinggaan.
Tayangan dibuka dengan adegan yang menampilkan seseorang yang sedang menuangkan bubuk kopi ke dalam tiga buah cangkir enamel. Itu adalah Simon Zakaria, lelaki yang sedang menyiapkan minuman panas kepada para pelanggannya, suatu malam di lapak sederhana di pinggiran jalan, di bawah payung besar warna-warni dengan bohlam yang menggantung rendah.
"Kalau saya secara pribadi sih kepinginnya, sudahlah, ayo, fokus kita ini tentang kasus tragedi Kanjuruhan. Fokusnya jangan melenceng ke mana-mana lagi. Ayo kita kuat, kita bersama-sama, kita jalan lagi bareng-bareng," ujar Simon Zakaria.
Narator menjelaskan bahwa Simon Zakaria merupakan salah satu aremania penyintas Tragedi Kanjuruhan, sebuah peristiwa pilu yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022.
Trauma masih menggerayangi lelaki itu. Simon Zakaria bahkan memutuskan untuk tidak lagi mendukung Arema FC, dan ogah menonton tim itu berlaga sekalipun dari layar gelas.
Layar kini menayangkan cuplikan perayaan ulang tahun seorang bocah yang digelar pada malam derbi Jawa Timur. Namun, kegembiraan yang berlangsung di tribun suporter Arema FC itu, juga gelombang euforia yang mulai memuncak, seketika berubah.Â
Asap putih kini membubung tinggi, memenuhi seisi stadion saat selongsong per selongsong gas air mata dengan ekor api muntah ruah di udara. Kepanikan pun datang seketika.
Sebelumnya, laga antara Arema FC vs Persebaya yang digelar pada pukul 20.00 WIB, itu membuahkan kemenangan untuk tim tamu dengan skor 2-3. Suporter yang tidak terima dengan hasil pertandingan kala itu mulai turun ke lapangan.Â
Untuk mengendalikan massa, petugas keamanan melesatkan tembakan gas air mata ke seantero tribun dan menciptakan lautan asap. Orang-orang mulai berlarian, berdesak-desakan mencari pintu keluar demi menghindari paparan gas air mata.Â
Kepanikan itu tersampaikan dengan jelas. Seseorang berkali-kali menyebut nama Tuhan, yang lain terbaring dan sekarat.
Simak Video Pilihan Ini:
Vonis Amis
Siapa nyana, malam itu korban jiwa mulai berjatuhan satu per satu. Korban yang meregang nyawa diakibatkam terinjak-injak kerumunan dan sesak napas.
Korban meninggal rata-rata merupakan suporter Arema FC. Pendukung lawan sejak awal tidak diizinkan datang untuk menonton pertandingan demi menghindari terciptanya kerusuhan.
"Korban luka sedang/ringan 484 orang. Korban luka berat 96 orang. Korban tewas 135 orang," demikian keterangan tentang jumlah korban yang muncul di layar.
Satu hari setelah tragedi, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dukacita. Presiden juga menyuruh kepolisian untuk menginvestigasi dan mengusut tuntas kasus tersebut serta memerintahkan PSSI untuk menyetop Liga 1 sementara waktu sampai evaluasi dan perbaikan prosedur pengamanan dilakukan.Â
Beberapa hari kemudian, tepatnya Kamis (6/10/2023), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan enam tersangka yang dinilai bertanggung jawab atas Tragedi Kanjuruhan. Nama Ahmad Hadian Lukita, yang tak lain adalah Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB) ada di sana.
Ahmad Hadian Lukita ikut terseret karena, selaku penyelenggara Liga 1, PT LIB dinyatakan tidak melakukan verifikasi stadion sebelum musim pertandingan.
Namun, berkas perkara Ahmad Hadian Lukita kelak dinyatakan P19 atau dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi ke penyidik karena alasan kekurangan syarat materiel. Berbeda dengan lima tahanan lain yang berkasnya dilimpahkan ke Kejati, status tersangka eks Dirut PT LIB yang sempat ditahan di Polda Jawa Timur itu dinyatakan gugur.
Adapun lima tersangka yang diseret ke meja hijau yakni Abdul Haris (Ketua Panpel Arema FC), Suko Sutrisno (security officer Arema FC), Kompol Wahyu Setyo Pranoto (Kabag Ops Polres Malang), AKP Hasdarmawan (Danki 3 Yon Brimob Polda Jatim), dan AKP Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang).
Selanjutnya, dari lima tersangka, Majelis Hakim hanya menjatuhkan hukuman terhadap tiga tersangka. Yakni Abdul Haris dan AKP Hasdarmawan masing-masing 1 tahun 6 bulan penjara, serta Suko Sutrisno satu tahun penjara.
Sementara itu, Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi diputus bebas dari jeratan hukuman. Lah, apa tumon?
Vonis ini dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan sama sekali.
Prolog film dokumenter tersebut pun berakhir.
Sejak Watchdoc Documentary merilis Nisan tanpa Keadilan pada 1 Oktober 2023, kegiatan nobar film dokumenter tersebut terpantau dilakukan secara maraton di sejumlah kota di Indonesia. Hingga saat ini, Aceh tercatat telah memutar film dokumenter tersebut sebanyak dua kali.Â
Pertama digelar di Aceh Tamiang yang diinisiasi oleh Merakinoia, Sobat Ipan, dan Leuser Natura, pada 8 Oktober lalu. Kedua diinisiasi oleh LBH Banda Aceh.
Advertisement
Sebuah Diskursus
Di dalam unggahan resminya, LBH Banda Aceh menyebut bahwa nobar Nisan tanpa Keadilan merupakan bagian dari diskursus pelbagai kejanggalan selama proses hukum atas kasus Kanjuruhan. Film berdurasi 57 menit itu menampilkan banyak hal yang diambil dari situasi penegakan hukum yang dinilai tercederai.Â
Kartini, ibu dari Jefri Iklasul Amal, salah satu korban Kanjuruhan, yang sampai saat ini masih menuntut keadilan atas kematian anaknya. Dia mengatakan bahwa nyawa anak laki-lakinya itu tak seharga uang santunan, perempuan itu tak akan berhenti.
"Kalau saya dengan santunan itu saya diam, seakan-akan anak saya, saya tukar dengan uang," ujar Kartini.
Kartini hanyalah satu dari sekian banyak keluarga korban yang hingga hari ini masih menuntut penegakan hukum atas pihak-pihak yang bertanggung jawab. Namun, yang mereka hadapi sejak awal selama proses hukum berlangsung ialah aral melintang juga tebing curam.
Masih kental di dalam ingatan bagaimana Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi diputus bebas dari jeratan hukuman. Masing-masing oleh PN Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur.Â
Keduanya baru divonis bersalah di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung pada Kamis (24/8/2023). Adapun hukuman penjara yang mereka terima, masing-masing dua tahun dan 2,5 tahun.
Hukuman ini masih belum representatif. Masih terpaut jauh dari yang diharapkan oleh korban dan keluarga korban.Â
Di dalam Nisan tanpa Keadilan, Andi Rezaldy dari KontraS menyebut tiga aktor yang bertanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan. Pertama, aktor lapangan, yaitu anggota kepolisian yang melakukan kekerasan dan menembakkan gas air mata terhadap para suporter.
Kedua, aktor yang bertanggung jawab melakukan pengendalian secara strategis kepada aktor yang melakukan penggunaan kekuatan, ketiga aktor yang tergolong high level. Proses hukum yang tidak ideal membuat para aktor tidak terjamah secara keseluruhan.Â
Selanjutnya, Daniel Siagian dari LBH Pos Malang mengatakan bahwa Tragedi Kanjuruhan dapat dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM berat. Apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis dan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.Â
"Unsur sistematis bagi kami koalisi masyarakat sipil, ini sebenarnya sudah memenuhi. Baik itu dari karakteristik kebijakannya, baik itu rencana pengamanannya, dan juga pertanggungjawaban komando," Daniel Siagian dari LBH Pos Malang menerangkan saat sesi wawancara dalam film dokumenter tersebut.Â
Adapun unsur meluas dari Pelanggaran HAM berat yang terjadi di Stadion Kanjuruhan dapat dilihat dari sebaran wilayah asal para korban yang datang dari sejumlah tempat. Setidaknya ada 11 titik wilayah sebaran yang ditampilkan di dalam peta.
Hak Restitusi
Nobar Nisan tanpa Keadilan diawali dengan cover lagu Iwan Fals berjudul Kanjuruhan oleh Hesphynosa Riva. Lagu tersebut dinyanyikan penuh penghayatan dengan suara rendah yang terasa jenjam.
Hesphynosa Riva selanjutnya mengisi diskusi bersama Gebrina Rezeki dari Flower Aceh dan Rahmat Djailani yang merupakan Sekretaris Umum Persiraja, klub bola asal Banda Aceh yang kini sedang menjejal Liga 2. Diskusi ini dipandu oleh Stephanie.
Seperti yang diketahui, penonton yang menjadi korban di dalam Tragedi Kanjuruhan termasuk juga perempuan. Data Komnas HAM bahkan menyebut bahwa tragedi tersebut turut serta merenggut nyawa 44 anak, sementara 212 anak mengalami luka berat.
Ini belum termasuk anak yang menjadi korban 'tidak langsung' karena orangtua atau saudaranya yang ikut menjadi korban. Melihat ini, Gebrina Rezeki dari Flower Aceh menegaskan pentingnya jaminan keamanan untuk para penonton sepak bola dari kalangan perempuan dan anak-anak.
"Ramah perempuan dan anak bukan cuma dari segi fasilitas saja, yang pasti juga keamanannya. Perempuan dan anak itu adalah kelompok rentan. Jadi, ketika fasilitas itu sudah bagus, tetapi keamanannya enggak bagus, percuma juga," kata Gebrina Rezeki, ditemui Liputan6.com sehabis nobar.
Dalam kasus Kanjuruhan sendiri, putusan pengadilan juga tidak menegaskan tentang adanya tanggung jawab pelaku dalam hal restitusi dan rehabilitasi korban. Nasib yang sama juga berlaku untuk hal-hal seperti layanan dan bantuan pemulihan.
Gebrina Rezeki menekankan pentingnya menjamin hak restitusi para korban terutama perempuan dan anak karena dampak yang berkemungkinan ganda. Termasuk pula di dalamnya menjamin adanya layanan pemulihan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi.
"Hak restitusi perlu diperhatikan lagi. Jadi enggak cuma sekadar dari jumlah nominal uang saja, tetapi juga hal-hal kayak traumatisnya. Video di awal kita tonton, yang cowok saja masih trauma dia sampai saat ini, apalagi perempuan dan juga anak yang menjadi korban dan keluarga korban," tegas Gebrina Rezeki.
Setabuhan gendang dengan Gebrina Rezeki, Sekretaris Umum Persiraja, Rahmat Djailani mengatakan bahwa apa yang tersisa dari Tragedi Kanjuruhan merupakan pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Terutama oleh klub, PSSI, hingga aparat penegak hukum.
"Kedua, Tragedi Kanjuruhan semestinya menjadi penggerak atau pendorong supaya sepak bola Indonesia menjadi lebih bagus. Secara fasilitas, penyelenggaraan, penonton, klub dan sebagainya," ujar Rahmat Djailani.
Nisan tanpa Keadilan dirilis ke publik via akun YouTube Watchdoc Documentary sejak 23 Oktober 2023. Empat hari setelah diunggah, video berdurasi satu jam itu sudah ditonton sebanyak 28 ribu kali.
Advertisement