Sukses

Cerita Warga Jayapura Bebas Sesak Napas Berkat Kompor Gas

Banyak hal positif yang didapat saat beralih ke kompor gas.

Liputan6.com, Jayapura - Empat bulan terakhir, Lina Umasugi, warga Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Provinsi Papua tak lagi mengalami gangguan pernapasan, terlebih saat dia selesai memasak. Sebelumnya, perempuan 35 tahun ini mengaku sering mengalami gangguan pernapasan usai memasak.

Lina berkisah, sejak puluhan tahun menggunakan bahan bakar minyak tanah (mitan) untuk memasak. Dia selalu merasa sesak napas saat menghirup asap yang keluar dari kompor mitan yang digunakan.

"Sa (saya) sempat ngobrol di kantor dengan teman-teman. Sa bilang, selalu mengalami gangguan pernapasan saat menghirup asap dari kompor mitan jika melakukan kegiatannya di dapur. Teman saya menyarankan untuk mencoba beralih ke kompor gas dengan bahan bakar LPG," kata Lina kepada Liputan6.com, Selasa (31/10/2023).

Atas saran itu, Lina akhirnya beralih dari kompor mitan ke kompor gas. Terbukti, Lina tak lagi mengalami gangguan pernapasan usai memasak. 

"Awalnya peralihan dari kompor mitan ke kompor gas hanya untuk alasan kesehatan. Kenyataannya, memasak dengan kompor gas lebih menyenangkan dan menghemat waktu. Segalanya lebih praktis," katanya.

Lina mengaku banyak hal positif yang didapat saat dirinya beralih ke kompor gas. Hal terpenting adalah lebih hemat dalam urusan merogoh koceknya, dibandingkan untuk membeli minyak tanah yang relatif mahal dan susah didapat di daerahnya.

"Secara hitungan, memasak dengan kompor gas lebih hemat. Untuk mendapatkan mitan satu jeriken berisi 5 liter yang normalnya di harga Rp25 ribu, saya harus mengeluarkan uang 2-3 kali lipat dari harga normal. Namun, justru memasak dengan LPG, uang yang dikeluarkan lebih sedikit," Lina berujar.

Ia mengaku memasak dengan kompor gas juga membuat alat masak di rumah lebih bersih dan tidak meninggalkan bekas hitam, seperti menggunakan kompor minyak tanah.

2 dari 3 halaman

SPBE Makin Dekat di Papua

April 2022, Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) yang dibangun di Doyo Baru, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua resmi beroperasi. SPBE ini berdiri untuk pertama kalinya di Tanah Papua.

Kapasitas SPBE bisa mencapai 30 metrik ton (MT) atau 30 ribu kilogram, di mana rencananya akan ditambah lagi hingga total keseluruhan mencapai 60 metrik ton. SPBE memenuhi kebutuhan LPG untuk Kota dan Kabupaten Jayapura, Sarmi, Keerom. 

"Tak menutup kemungkinan akan dikirim lagi ke 8 kabupaten di Provinsi Papua Pegunungan dan sekitarnya. Tentunya dengan kehadiran SPBE akan memudahkan kebutuhan LPG bagi masyarakat setempat," kata Edi Mangun, Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku.

Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku yakin dengan hadirnya SPBE dapat membantu penyesuaian harga elpiji di Bumi Papua. "Harga elpiji bisa menurun hingga Rp30 ribu sampai Rp50 ribu," dia mengatakan.

 

3 dari 3 halaman

Pemakaian LPG Meningkat

Benar saja, baru satu tahun lebih SPBE beroperasi, Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku mencatat terjadi peningkatan hingga 53 persen pemakaian LPG tahun ini, dibandingkan tahun lalu. 

"Per bulan rata-rata meningkat sebesar 93 MT. Peningkatan terbesar terjadi pada rumah tangga dan UMKM,” kata Edi.

Terbukti, harga LPG di Kota Jayapura dan sekitarnya juga menurun dari harga sebelumnya saat belum ada SPBE. Sebut saja, dulunya untuk isi ulang Bright Gas (BG) 5,5 kilogram bisa mencapai Rp 200 ribu hingga Rp 230 ribu per tabung. Lalu, untuk kemasan BG 12 kilogram bisa mencapai hingga Rp 400 ribu per tabung gas.

Setelah SPBE Doyo beroperasi,  harga isi ulang BG kemasan 5,5 kilogram hanya seharga Rp127 ribu hingga Rp140 ribu. Lalu, untuk BG kemasan 12 kilogram diharga Rp 265 ribu hingga Rp 280 ribu per tabung gas untuk isi ulang.

Untuk meyakinkan masyarakat Papua bahwa penggunaan LPG lebih irit dan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan minyak tanah, Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku terus mengedukasi  masyarakat.

"Dengan edukasi ini juga memberitahukan dan meyakinkan masyarakat bahwa Pertamina ikut kampanyekan ramah lingkungan-Pertamina Go Green. Masyarakat diberikan pemahaman bahwa  mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji tidak merusak lingkungan," jelas Edi.

Edi menyebutkan pembakaran kompor LPG lebih sempurna dan relatif cepat, sehingga ramah lingkungan. Berbeda dengan proses pembakaran dengan minyak tanah yang menghasilkan asap dan berbau. 

"Menggunakan LPG tidak menghasilkan asap dan tidak berbau. Inilah sebabnya elpiji ramah lingkungan," jelas Edi.

Tak hanya itu saja, Pertamina juga melakukan edukasi secara on the spot kepada UMKM.  Hasilnya menggembirakan, saat ini terdapat penambahan agen LPG di wilayah pemasaran Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Sarmi, dan Keerom, karena kebutuhan LPG meningkat.

"Untungnya lagi, harga LPG di Papua hampir sama dengan di Pulau Jawa atau daerah lainnya. LPG di Jayapura dan sekitarnya juga sudah mudah ditemukan. Ini yang terpenting," Lina menutup obrolannya sambil tersenyum puas.