Liputan6.com, Purwakarta - Kabupaten Purwakarta, ternyata merupakan salah satu daerah yang memiliki ragam produk kebudayaan asli Jawa Barat. Sebut saja di antaranya, produk kerajinan seni ukir Wayang Golek. Mungkin tak banyak yang tahu juga, jika salah satu seni tradisi Tatar Sunda itu pernah mengharumkan nama beberapa desa di wilayah ini.
Desa Sukamaju, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta adalah salah satu sentra produk kebudayaan tersebut. Terkenalnya desa ini akan seni tradisi tersebut, bukan karena banyaknya dalang di wilayah itu. Melainkan, banyaknya para perajin seni ukir wayang golek.
Para perajin di desa tersebut, sampai saat ini masih konsisten menggaungkan kemasyuran seni ukir Wayang Golek. Kendati, saat ini jumlah perajinnya hanya hitungan jari karena tak adanya generasi penerus yang ingin mewarisi keahlian tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Abah Djani (62), adalah salah satu dari puluhan perajin wayang golek di desa itu yang masih konsisten dengan karyanya. Dia pun bercerita mengenai masa ke emasan desanya kala itu. Mneurutnya , Era 70 sampai 80-an, mungkin menjadi masa kejayaan.
Mengingat, kala itu pesanan wayang ukir (untuk pagelaran dalang) meningkat signifikan. Karena kabarnya, dari mulai dalang kahot, seperti mendiang Asep Sunandar Sunarya sampai dalang pinggiran desa memesan wayangnya ke desa itu.
Namun sayang, lanjut dia, seiring berjalannya waktu para perajin di desa itu banyak yang gulung tikar, karena terimbas krisis ekonomi saat itu. Bahkan banyak di antara para perajin lebih memilih meninggalkan desa untuk mengembangkan bakatnya di daerah lain.
"Sekarang mah, perajin yang masih konsistem bisa dihitung jari," ujar Abah Djani saat berbincang dengan Liputan6.com, di kawasan Galeri Wayang sekitar perkantoran Setda Purwakarta, Selasa (7/11/2023).
Belajar dari Dalang Sepuh Asal Bogor
Pria paruh baya inipun lantas menceritakan perjalanan karirnya membuat seni ukir wayang golek. Kisahnya ini, dimulai sejak 1980 silam. Saat itu, dirinya berkeinginan dibuatkan wayang golek dengan tokoh Astrajingga (si Cepot) oleh kakeknya yang juga merupakan ahli pembuat wayang golek.
Namun, lanjut dia, kala itu keinginannya ditolak oleh mendiang kakeknya. Kakeknya, justru meminta dia untuk membuatnya sendiri. Atas dorongan dari kakeknya, Djani kecil pun membuat sendiri tokoh wayang yang diidolakannya itu.
Dengan berbekal sedikit pengetahuan dari sang kakek, Abah Djani kemudian menyerut bongkahan kayu dengan telaten untuk menjadi sebuah wajah tokoh pewayangan tersebut. Memang, Abah Jani tak lantas begitu saja mahir dalam membuat wayang golek.
Merasa pengetahuannya tentang pembuatan wayang ini masih kurang, ayah tiga anak ini pun kemudian memilih pergi ke Bogor untuk belajar tentang wayang kepada para dalang yang ada di wilayah itu. Di kota hujan itu, Abah Djani kemudian bertemu dengan Dalang Ahim.
"Dalang Ahim, merupakan seorang dalang sepuh di daerah Bogor. Abah lumayan cukup lama belajar tentang pewayangan dari beliau," kata Abah Djani.
Setelah pengetahuannya tentang seni ukir wayang dirasa cukup, akhirnya Abah Djani dipercaya membuat tokoh-tokoh wayang untuk digunakan dalam pertunjukan Dalang Ahim. Bahkan, dirinya pun membuatkan wayang untuk pertunjukan dalang kahot Asep Sunandar Sunarya.
Kepiawaiannya membuat seni ukir wayang golek ini, ternyata terdengar hingga peloksok daerah. Dedikasi Abah Djani, akhirnya mengantarkan dia ke Taman Nusa Gianyar Bali. Di Pulau Dewata itu, dia dia diminta untuk membuat wayang golek untuk dipamerkan.
"Itu sekitar tahun 2014. Jadi, Abah diminta untuk membuat wayang golek. Bukan hanya untuk dipamerkan di etalase-etalase Taman, tapi juga untuk keperluan saat ada event atau festival di Taman tersebut," jelas dia.
Dia tahun berjalan, tepatnya di 2016 lalu Abah Djani diminta pulang untuk menempati Galeri Wayang di Pemda Purwakarta. Sampai saat ini, Abah Djani diberdayakan menjadi tenaga harian lepas (THL) di salah satu destinasi wisata edukasi milik pemerintah itu.
Dalam kesempatan itu, Abah Djani pun lantas menceritakan kerumitan dalam membuat seni ukir wayang golek ini. Saking rumitnya, untuk satu wayang ukuran 1 (wayang pentas) itu membutuhkan waktu sekitar 10 hari. Makanya, sangat jarang generasi muda yang mempelajarinya.
"Kudu leukeun (Harus teliti). Apalagi kan ini wayang khusus untuk pentas. Sehingga kualitasnya harus dikedepankan," pungkasnya.
Advertisement