Liputan6.com, Jambi - Bangunan mes milik PT Hijau Artha Nusa (HAN) di Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, itu porak poranda. Sebagian dinding papan lenyap. Pintu, jendela, dan atapnya juga sudah hilang.
Di bagian dalam bangunan itu hanya tersisa kain-kain lusuh milik bekas pekerja. Ada juga beberapa dokumen kertas bekas transaksi kayu dengan stempel perusahaan berserakan.
Sementara, di luar mes beberapa kayu gelondongan besar sisa tebangan masih tergeletak di sisi kiri bangunan. Mes dibangun memanjang menyerupai huruf L itu terdiri dari beberapa bagian pintu ruangan. Plang mess juga hilang. Kini mess yang sudah porak poranda itu telah ditinggalkan para pekerjanya.
Advertisement
"Sudah sekitar lima bulan ini, PT HAN sudah berhenti beroperasi," kata seorang warga Desa Nalo Gedang, Putra, Jumat (29/9/2023).
Tak jauh dari mes, petak tanam pohon sengon sekira tinggi lima meter berjejer di atas bukit. Pemandangan pada Jumat siang itu, amat kontras dengan bagian konsesi di belakang mes. Coak-coak bukit sisa garukan buldozzer terbuka menganga dan meninggalkan jejak deforestasi. Bekas tebangan kayu alam dibiarkan begitu saja, tanpa ditanami kembali oleh PT HAN.
Baca Juga
PT HAN adalah Hijau Artha Nusa–perusahaan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan nomor SK.183/Menhut-II/2013 tertanggal 25 Maret 2013 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman.
Di Provinsi Jambi, perseroan mendapat izin konsesi seluas 32.620 hektare--separuh luas Jakarta. Konsesi perusahaan di Blok I yaitu di Kecamatan Tabir, Tabir Ulu, dan Tabir Barat dengan luas penguasaan 11.104 hektare.
Kawasan Blok II ada di Nalo Tantan dan Renah Pembarap dengan garapan seluas 10.964 hektare. Sementara itu, di Blok III Kabupaten Sarolangun, mencakup wilayah administrasi Kecamatan Cermin Nan Gedang dan Limun dengan menguasai konsesi seluas 10.169 hektare.
Dalam profilnya, korporasi yang mendapat kucuran dana investasi dari Negeri Gingseng–julukan Korea Selatan–ini, bergerak di bidang pengembangan industri bahan baku energi terbarukan lewat pemanfaatan produk biomassa–pemerintah menyebutnya Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk proyek kayu biomassa.
HTE yang dikembangkan perusahaan digadang-gadang untuk untuk menghasilkan biomassa sebagai salah satu sumber energi terbarukan. Tapi celakanya metode awal yang dikerjakan perusahaan yaitu dengan menebang kayu alam. Alih-alih mengembangkan hutan tanaman energi dengan jenis kayu sengon, dalam praktiknya perusahaan malah gencar menebang kayu alam di hutan konsesi tersebut.
"Kalau pohon sengon yang ditanam masih sedikit. Sekarang enggak tahu kenapa perusahaan berhenti beroperasi," ujar Putra.
Kini keberadaan perusahaan setelah menebang pohon alam tak diketahui rimbanya. Perusahaan hilang tanpa jejak. Salah seorang mantan pekerja lainnya mengaku hilang kontak dengan jajaran top direksi perusahaan.
Bekas Manajer Humas PT HAN Marliyos mengakui bahwa kini PT HAN sudah tidak beroperasi. Ia tidak mengetahui pasti penyebab perusahaan ini mandek beropasi. “Kami ni dak tau, infonya sudah bubar. Komunikasi juga tidak ada, perusahaan sekarang kemana juga saya tidak tahu,” kata Marliyos.
“Apakah perusahaannya bangkrut atau izinnya sudah dicabut, kita dak tahu jugo,” sambung Marliyos.
Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menemukan area deforestasi di kawasan PT HAN sangat masif. Luas deforestasi itu tak sebanding dengan realisasi penanam sengon yang digadang-gadang perseroan untuk memenuhi kebutuhan biomassa.
Lembaga yang fokus pada isu kebijakan kehutanan itu menuduh perusahaan hanya menebang kayu alam dengan dalih mengembangkan energi baru terbarukan. Dugaan ini muncul dalam dokumen rencana penanaman 2015-2024 seluas 18.087 hektare.
Setelah berjalan hingga 2023 perusahaan baru merealisasikan menanam 100 hektare sengon. Hal itu berbanding terbalik dengan luar deforestasi. Wilayah konsesi PT HAN terdiri dari hutan hujan dataran rendah di Sumatra itu telah mengalami deforestasi seluas 4.834,52 hektare pada 2017-2021 dan 2022-2023 seluas 225 hektare.
Dalam praktiknya itu PT HAN memulai pembangunan HTE dengan kerusakan hutan. Disisi lain perusahaan juga tidak punya komitmen kuat untuk membangun HTE. Hal ini hanya dijadikan motif untuk menebang hutan dan memanfaatkan kayu alam di area konsesinya.
“Setelah menebang hutan alam, kita tengok realisasi tanaman sengon hanya terbatas di beberapa petak saja,” kata Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Ahmad Bestari, mengklaim selalu melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Namun, ia tidak mengetahui secara gamblang soal tanaman energi yang digadang-gadang oleh PT HAN.
“Kalau wood pellet itu bagian dari bisnis perusahaan, kita tidak sampai (pengawasan) ke situ (bisnis),” kata Bestari.
Deforestasi untuk HTE Diproyeksikan Capai 4,65 Juta Hektare
Pemerintah hingga kini terus mempopulerkan produk biomassa menjadi satu dari sederet sumber energi terbarukan untuk proyek transisi energi mengganti energi fosil. Forest Watch Indonesia (FWI) menilai upaya pemerintah dalam mengembangkan program transisi energi biomassa ini dinilai tidak tepat.
FWI menuduh bahwa pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk proyek kayu biomassa justru akan menambah masalah baru. Pasalnya potensi deforestasi dari pembangunan HTE ini sangat masif. Sehingga, kondisi ini malah akan menambah emisi dari sektor kehutanan, pertanian, dan lahan.
FWI dalam sebuah kajiannya mengatakan, bahwa semua proyek energi yang dijalankan pemerintah, tak terkecuali untuk biomassa akan mendapatkan kebijakan kemewahan. Berdasarkan analisis FWI terhadap Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021, setidaknya terdapat 9 'karpet merah' untuk proyek energi yang berasal dari penurunan fungsi dan perubahan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, serta dari pemanfaatan hutan.
“Proyek energi dari sektor kehutanan terbilang istimewa atau ekslusif. Misalnya, di dalam regulasi pembangunan HTE itu mengesampingkan yang namanya tata batas untuk menginvetarisasi pihak ketiga, ada wilayah di sana sudah ada di manfaatkan masyarakat,” kata Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga kepada Liputan6.com.
Anggi bilang, pemerintah memiliki target ambisius pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri sampai 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Target ini termuat dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022.
Target pengurangan emisis tersebut didesain bisa dicapai dari sektor hutan dan penggunaan lahan dan energi sebanyak 97 persen dari total komitmen nasional. Di samping itu, upaya meningkatkan bauran energi baru terbarukan sebanyak 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050 diklaim sebagai upaya pengurangan emisi.
Dari sektor ketenagalistrikan, co-firing PLTU diklaim jadi salah satu cara pemerintah untuk mempercepat capaian energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025. Proses co-firing ini adalah dengan menambahkan biomassa sebagai bahan pengganti parsial ke dalam boiler batubara tanpa modifikasi yang signifikan.
Sesuai peta jalan transisi energi yang dikeluarkan Kementerian ESDM, saat ini terdapat 52 lokasi PLTU dengan total kapasitas 18.664 megawatt akan jadi target co-firing hingga tahun 2025. Adapun potensi bahan baku biomassa untuk co-firing PLTU ini dari tanaman energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri kayu, dan sampah rumah tangga.
Program biomassa untuk co-firing PLTU akan meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 1,8 persen dengan proyeksi kebutuhan biomassa sekitar 10,2 juta ton per tahun pada 2025. Kebutuhan biomassa itu salah satunya dipasok dari pengembangan HTE.
“Upaya dari pemerintah ini memiliki konsekuensi signifikan terhadap sektor hutan dan lahan,” kata dia.
Anggi menjelaskan, pemerintah telah menargetkan pembangunan HTE melalui perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 1,29 juta hektare untuk memenuhi kebutuhan biomassa. Namun dalam kajian, FWI mencatat, praktik pembangunan HTE sejauh ini sudah mengakibatkan kehilangan hutan alam sebanyak 55 ribu hektare dan seluas 420 ribu hektare hutan alam tersisa terancam dirusak untuk kepentingan pembangunan HTE (planned deforestation).
Anggi memaparkan, dari 32 perusahaan HTI yang membangun HTE, tidak semuanya memiliki kejelasan status perizinan. Dalam implementasinya ada 13 perusahaan yang belum bisa dipastikan apakah perusahaan tersebut akan menyuplai kebutuhan biomassa untuk dalam negeri dalam rangka pemenuhan target pembangunan hutan tanaman agar target net sink 2030 tercapai.
“Proyek pembangunan HTE untuk biomassa co-firing PLTU diproyeksikan akan merusak hutan alam seluas 4,65 juta hetare, ini berasal dari konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), HTI, PS yang turut mengusahakan HTE,” ujar Anggi.
Pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) biomassa untuk transisi energi yang mengorbankan hutan alam, menurut Anggi, tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai energi bersih. Pembangunan, HTE kata dia, tidak akan pernah tercapai dan hanya ilusi atau bukan sebuah cara yang tepat di tengah krisis iklim dan ekologi.
“HTE biomassa untuk co-firing PLTU tidak bisa dikatakan sebagai penyediaan energi bersih dan terbarukan, karena praktiknya mengorbankan hutan alam,” demikian Anggi.
Advertisement