Liputan6.com, Gorontalo - Provinsi Gorontalo terkenal dengan daerah yang sangat kental dengan adat dan istiadat. Dari dulu hingga saat ini, sebagian besar adat itu masih dipegang erat oleh warganya.
Salah satunya adat terkait dengan kaum perempuan yang tidak bisa menjadi kepala daerah. Sebab, itu sangat bertentangan dengan adat di tanah Serambi Madinah.
Advertisement
Baca Juga
Gorontalo sendiri masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat yang dikenal dengan semboyan adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah.
Adat tentang seorang perempuan tidak bisa jadi kepala daerah konon memang sudah ada sejak dulu. Warga Gorontalo sendiri berdasar pada pada azas adat yaitu agama islam, di mana laki-laki adalah pemimpin bagi wanita.
Dengan begitu, secara adat Gorontalo, wanita tidak dibolehkan untuk menjadi pejabat atau memimpin suatu wilayah. Dasar adat inilah yang kerap dihubungkan dengan jabatan Plt Bupati Bone Bolango (Bonebol) Merlan S. Uloli yang juga seorang perempuan.
Sebelumnya, Merlan sendiri merupakan Wakil Bupati Bone Bolango (Bonebol) menggantikan Hamim Pou yang mundur sejak 3 Oktober 2023 lalu. Hamim harus merelakan jabatannya karena diminta partai Nasdem sebagai peserta pemilu calon Anggota DPR RI dapil Sulawesi Utara (Sulut).
Istilah adat perempuan tidak bisa jadi kepala daerah di Provinsi Gorontalo seakan dipatahkan oleh Merlan. Secara konstitusi, dirinya punya hak penuh menggantikan Hamim Pou sebagai Bukti berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kemendagri.
“Saya sebagai perempuan, saya juga ingin punya kontribusi terhadap kaum saya. Kita tahu sendiri bahwa keterwakilan kaum perempuan di legislatif dan politik di Bonebol, itu sangat minim,” kata Merlan Uloli.
Simak juga video pilihan berikut:
Tanggapan Lembaga Adat
A.R Maksum, tokoh adat Gorontalo menegaskan tidak ada larangan bagi perempuan menjadi seorang pemimpin atau khalifah. Adat tidak mempermasalahkan perempuan menjadi khalifah.
"Tentu untuk prosesi upacara adat kepada pemimpin perempuan, ada ketentuan tersendiri,” kata A.R Maksum
Dirinya mencontohkan, Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Indonesia kelima dan Khofifah Indar Parawansa menjadi Gubernur Jawa Timur. Mereka adalah seorang pemimpin dan menjadi khalifah di negeri ini dari kaum perempuan hasil demokrasi yang dipilih oleh rakyat.
Bahkan di wilayah Suwawa sendiri pada masa kerajaan, sebut A.R Maksum, itu pemimpinnya adalah seorang perempuan, yakni Mbui Ayudugya. Ia memimpin kerajaan Suwawa pada abad ke-5.
”Mbui Ayudugya dikenal sebagai sosok pemimpin perempuan yang perkasa dan mampu menyatukan seluruh rakyat Suwawa saat itu,”tuturnya A.R Maksum.
Oleh karena itu, kata A.R Maksum, dalam tatanan adat tidak ada masalah kalau perempuan menjadi pemimpin atau khalifah. Bahkan ia selaku tokoh adat pun akan membackup dan mendukung itu, karena ada aturan-aturannya.
”Jadi sekali lagi, kami tegaskan tidak ada larangan perempuan untuk jadi pemimpin, sepanjang dia menjunjung adat (adati), kebijaksanaan (tinepo), kekeluargaan (tombulaa), dan hukum (butoâo), maka itulah pemimpin yang baik. Jadi bukan melihat bahwa dia seorang perempuan,”tegasnya.
Dirinya berpesan Kepada Plt. Bupati Bone Bolango Merlan S. Uloli, sebagai khalifah atau Bupati perempuan pertama di Bone Bolango agar niatnya membangun daerah ini betul-betul tujuannya untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat.
Tentu dalam memimpin dan membangun daerah ini, perlu dilandasi dengan lima sendi peradaban Gorontalo, yakni Payu Limo Totalu, di antaranya bangusa talalo (bangsa ini harus dijaga), lipu podudualo (negeri ini dibela), nyawa podungalo (nyawa harus dipertaruhkan). Selanjutnya batanga pomaya (jiwa dan raga harus diabdikan), dan upango potombulu (harta harus diwakafkan untuk kemanusiaan).
”Niat seorang pemimpin harus begitu. Harus dilandasi kelima sendiri peradaban Gorontalo tersebut,” tegasnya.
Advertisement