Sukses

Kain Kasa Tertinggal di Kemaluan Pasien, Dokter di Aceh Dipolisikan

Seorang dokter kandungan di Aceh dilaporkan oleh pasiennya ke polisi. Apa pasal? Sang dokter dituding melakukan malapraktik karena sebongkah kasa tertinggal di kemaluan pasien. Simak:

Liputan6.com, Aceh - RD (30) tak menyangka, setelah menjalani operasi pengangkatan ari-ari, rasa sakit pada bagian bawah perutnya menetap di sana selama berbulan-bulan. Selain nyeri saat buang air, perempuan itu juga merasa kesulitan ketika berjalan dan duduk. 

Kemaluan RD bahkan mengeluarkan cairan kuning bercampur darah yang mengeluarkan bau tak sedap. Apa pasal?

Seorang dokter di Langsa menduga ada sesuatu benda asing di bagian bawah perut RD. Hasil operasi mengungkap bahwa benda asing tersebut ternyata adalah tampon atau kasa.

Kasa itu diduga bekas operasi pengangkatan plasenta yang dijalani oleh RD beberapa bulan yang selama pasca-kelahiran anak pertama. Secara medis, tampon digunakan sebagai sumbatan pendarahan.

Sebelumnya, Juni 2023, RD melahirkan secara normal dengan bantuan bidan. Namun, satu jam usai melahirkan, RD mengalami pendarahan karena plasenta atau ari-arinya tak kunjung keluar.

RD pun dirujuk ke RSUD Aceh Tamiang untuk ditangani. Untuk mengeluarkan ari-ari dari rahim RD, diputuskan untuk dilakukan operasi pembedahan perut.

RD sempat dirawat intensif selama beberapa di ruang Intenssive Care Unit (ICU) dan baru diperbolehkan pulang pada 5 Juli 2023. Saat itu, RD ditangani oleh dokter kandungan berinisial EA.

Surat Keterangan dokter RSUD Tamiang bernomor 445/2586 tanggal 11 Juli 2023 ditandatangani oleh EA, menyatakan bahwa RD mengalami 'Post Laparatomi a/i Morbidly Adherent + Riwayat Syok Hipovolemik P1 Post Partum Spontan Luar'.

Operasi pengangkatan plasenta yang dijalani oleh RD terbilang berhasil. Namun, saat itu terjadi pendarahan sehinggga dilakukan penyumbatan dengan kasa atau tampon untuk menahan laju darah yang keluar.

Sepulang dari rumah sakit, RD mulai mengalami sejumlah gejala seperti nyeri pada vagina, kesakitan ketika buang air, serta kesusahan saat duduk dan berjalan. Vagina RD pun juga mengeluarkan cairan kuning bercampur darah yang mengeluarkan bau tak sedap. 

Kendati telah memasuki hari ke-70 pasca persalinan, nifas RD juga tak kunjung berhenti. Saat itu, EA selaku dokter yang menangani RD yakin bahwa vagina pasiennya mengalami infeksi diakibatkan lubang antara vagina dan anus yang menyebabkan masuknya feses ke dalam vagina. 

EA menyarankan agar dilakukan prosedur perabaan dengan cara memasukkan satu jari melalui anus, sementara satu jari lagi melalui vagina. RD yang masih merasakan kesakitan pada bagian vaginanya menolak cara tersebut.

Di sini, menurut EA, seiring berjalannya waktu lubang tersebut nantinya akan tertutup dengan sendirinya. Setelah itu, tak ada lagi pemeriksaan lanjutan terhadap RD.

Namun, kondisi RD tak kunjung membaik. Ia dan keluarga akhirnya memutuskan untuk mendatangi salah seorang dokter kandungan di Kota Langsa pada September 2023.

Dimulai dari hasil pemeriksaan dokter kandungan itulah terungkap adanya benda asing di dalam vagina RD. Benda asing tersebut harus dikeluarkan melalui operasi karena tidak memungkinkan diambil langsung.

RD pun menjalani operasi di RS Umum Cut Meutia pada 13 September 2023. Seperti yang diketahui, ternyata benda asing yang selama ini membuat RD menderita adalah tampon atau kasa sebesar gumpalan tangan yang tertinggal di sana selama berbulan-bulan.

Diyakini bahwa kasa tersebut bekas operasi yang pernah dijalani RD saat pengangkatan plasenta dulu di RSUD Aceh Tamiang, pihak keluarga pun memutuskan mengadu ke manajemen rumah sakit.

Di sini, Direktur RSUD Aceh Tamiang, dr Andika Putra dan pihak rumah sakit pernah berkunjung ke rumah RD sebanyak dua kali. Namun, EA, dokter yang dinilai bertanggung jawab dalam kasus ini tidak ikut sama sekali.

2 dari 3 halaman

Melanggar Pasal 440 UU Kesehatan dan KUHP

RD dan keluarga memboyong kuasa hukum dari LBH Banda Aceh, memutuskan untuk melaporkan EA ke Polda Aceh pada tanggal 02 Oktober 2023. RD dituding melakukan malapraktik.

"Melanggar ketentuan Pasal 440 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dan pasal 360 juncto pasal 361 KUHP," sebut Muhammad Qodrat, kuasa hukum dari LBH Banda Aceh, dalam rilis Kamis (16/11/2023).

Pasal 440 ayat yang dimaksud menyatakan bahwa tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan pasien luka berat maka sanksinya berupa pidana penjara paling lama 3 tahun atau didenda paling banyak Rp250 juta. 

Jika kealpaan tersebut mengakibatkan nyawa pasien melayang, sanksinya penjara paling lama 5 tahun atau didenda paling banyak Rp500 juta. 

Sementara itu, pasal 360 KUHP menegaskan adanya hukuman berupa penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama satu tahun kepada siapa pun yang karena kesalahan atau kelalaiannya membuat orang lain luka berat.

Apabila kesalahan atau kelalalaian itu menyebabkan orang lain sakit sementara (tidak dapat melaksanakan pekerjaan atau jabatannya dalam kurun waktu tertentu), maka hukumannya berupa penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau didenda paling tinggi Rp4.500.

Selanjutnya, pada pasal 361 KUHP diterangkan jika kejahatan itu berlangsung selama berstatus melaksanakan jabatan atau pekerjaan, maka bobot hukuman dapat ditambah sepertiga dan pelaku dipecat dari pekerjaannya.

"Selain melanggar ketentuan pidana, EA juga diduga telah melanggar pasal 8 Kode Etik Kedokteran Indonesia dan pasal 7a Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang menuntut seorang dokter bersikap professional serta wajib memberikan pelayanan secara kompeten dalam setiap praktik medisnya," sebut Qodrat.

Kepolisian diharap mengusut mengusut kasus ini sampai tuntas dan memproses semua pihak yang diduga terlibat. Termasuk pihak manajemen RSUD Aceh Tamiang yang dinilai ikut bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita RD.

"Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 193 UU Kesehatan yang menentukan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh sumber saya manusia kesehatan rumah sakit," tegas Qodrat.

LBH Banda Aceh juga mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang untuk mengevaluasi rumah sakit pelat merah tersebut. Kejadian yang dialami oleh RD dinilai akan berpengaruh terhadap kepercayaan publik.

"Hal ini penting dilakukan demi mengembalikan kepercayaan masyarakat, serta menjamin pelayanan prima bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan medis," cetus Qodrat.

3 dari 3 halaman

Tak Setuju Disebut 'Malapraktik'

Direktur RSUD Aceh Tamiang, dr Andika Putra, menampik jika kasus kasa tertinggal di dalam kemaluan pasien pasca-operasi yang dialami RD disebut malapraktik. Ia lebih suka menyebutnya 'kelalaian'. 

Sebelumnya, Andika mengaku bahwa manajemen rumah sakit sudah berusaha memediasi kasus ini. Seperti yang dijelaskan, mereka sudah berkunjung ke rumah RD, dan masih mengusahakan agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

Namun, EA selaku dokter yang tersangkut dalam kasus ini tak pernah datang ke rumah RD. Andika mengungkap bahwa pihak rumah sakit sudah meminta penjelasan dari EA.

Ditanya apakah EA ada membela diri selama dicecar oleh pihak rumah sakit, Andika menjawab iya. Tetapi, Andika tidak menjelaskan lebih rinci seperti apa pembelaan yang dimaksud.

Saat ini pihak rumah sakit sedang menunggu hasil audit dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terkait tindakan EA selama menangani pasien RD. 

"Semua itu nanti berdasarkan dari audit, makanya supaya fair nanti kami nanti ada audit dari MKDKI. Jadi nanti apa rekomendasinya, berdasarkan itu kalau memang jelas ditemukan memang ada kelalaian tentu saja nanti kita ada penjatuhan sanksi," jelas Andika.

Berkaitan dengan tudingan malapraktik, Andika menampik bahwa corak kasus yang dialami RD masuk kategori malapraktik.

"Kalau malapraktik itu adalah sesuatu yang kegiatan memang ada niat, sengaja dilakukan untuk yang sehingga menimbulkan kerugian," kata Andika.

Dalam kasus RD, menurut Andika EA bertindak sesuai standar operasional. Hanya saja, ia mengungkap telah terjadi miskomunikasi atau salah paham. 

"Sehingga luput dari pantauan ternyata masih ada yang tertinggal di dalam," kata Andika.

"Saya enggak setuju kalau ini dibilang malapraktik karena bukan ada unsur kesengajaan di sini," tegas Andika sekali lagi.

Oleh kuasa hukum korban, Muhammad Qodrat, pernyataan Andika bahwa kasus yang dialami RD bukanlah malapraktik, tetapi 'kelalalaian' menunjukkan bahwa direktur RSUD Aceh Tamiang itu tak paham konsep malapraktik. Yang bersangkutan dinilai tak kompeten.

"Kami berharap masyarakat tidak terperdaya dengan konsep malapraktik yang disampaikan Direktur RSUD Aceh Tamiang," tegas Qodrat.

Qodrat mengutip Black’s Law Dictionary, bahwa malapraktik atau malpractice adalah, "an instance of negligence or incompetence on a part of a professional" (sebuah contoh kelalaian atau ketidakmampuan seorang profesional). 

Malapraktik atau dalam bahasa Inggris malpractice disebut juga dengan mala praxis, yang diartikan sebagai, "unskilled treatment, especially by a doctor" atau perlakuan/pengobatan yang tidak terampil, khususnya oleh dokter.

Melihat definisi tersebut, imbuh Qodrat, dapat disimpulkan bahwa malapraktik tak terbatas pada perbuatan yang disengaja. Kelalaian, tidak kompeten, dan tidak terampil, juga termasuk.

"Peraturan perundang-undangan di Indonesia tak memberikan definisi malapraktik. Namun, berdasarkan praktik hukum dan pandangan para ahli, delik malapraktik dapat dilakukan baik secara sengaja (dolus) maupun karena kelalaian atau kealpaan (culpa)," terang Qodrat.

Qodrat menambahkan bahwa malapraktik yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan dapat dijerat dengan pasal 440 UU Kesehatan dan pasal 359 sampai 361 KUHP.

"Malapraktik yang dilakukan secara sengaja dapat dipidana sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan. Contoh malapraktik yang dilakukan secara sengaja misalnya aborsi secara melawan hukum dan eutanasia," lanjutnya.

Menurut Qodrat, seorang dokter yang sengaja melakukan malapraktik dapat dibidik dengan pasal penganiayaan. Jika korban sampai meninggal dunia, maka dapat dijerat dengan pasal pembunuhan, tetapi jika terbukti dilakukan dengan rencana, maka dibidik dengan penganiayaan berencana atau pembunuhan berencana. 

Menurut Qodrat lagi, Andika Putra tak layak menjabat sebagai direktur RSUD Aceh Tamiang karena yang bersangkutan tak kompeten. Ia berharap otoritas setempat menempatkan seseorang yang lebih pantas menduduki jabatan tersebut.