Sukses

Pemicu Tingginya Angka Bunuh Diri, Remaja Indonesia Rentan Terbebani Berbagai Masalah

Diperlukan peningkatan kesadaran, akses, dan kualitas layanan kesehatan mental di Indonesia.

Liputan6.com, Bandung - Badan Riset dan Inovasi (BRIN) menyebut remaja Indonesia rentan terbebani berbagai masalah kompleks yang memicu tingginya angka bunuh diri.

Ide bunuh diri dan upaya bunuh diri di kalangan remaja Indonesia dikaitkan dengan berbagai faktor, antara lain depresi, kecemasan, stres, perundungan, dan masalah keluarga.

Menurut Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Ni Luh Putu Indi Dharmayanti, Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peningkatan kesadaran, akses, dan kualitas layanan kesehatan mental di Indonesia, serta kebijakan dan program yang mengatasi tiga beban malnutrisi dan faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap kerentanan remaja.

"Remaja pada usia yang sama dapat berada pada tingkat perkembangan yang berbeda - beda dalam berbagai bidang baik fisik, sosial dan psikologis. Masa remaja merupakan masa ketidakseimbangan emosional dan perilaku yang sulit diprediksi, remaja mungkin bisa menjadi sangat murung pada satu hari dan bersemangat pada hari berikutnya," ujar Indi dicuplik dari laman BRIN, MInggu, 26 November 2023.

Indi menjelaskan pada masa ini konflik eksplosif antara remaja dengan keluarga, teman dan lingkungan sosial lainnya mungkin akan sering terjadi.

Idni menyebutkan krisis dan pergolakan emosional seringkali dipilih oleh remaja sebagai respon yang tepat terhadap tugas - tugas psikologis dan sosial yang terjadi selama fase kehidupan ini.

Pada masa remaja, Indi menerangkan mereka mulai mengurangi ketergantungan psikologis pada orang tua, terpisah dari keluarga dan mulai terbentuk identitas orang dewasa.

"Pada tahun 2045 hampir 60 persen penduduk Indonesia akan didominasi oleh penduduk remaja yang berusia dibawah 30 tahun. Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, artinya penduduk usia produktif dan terpelajar akan memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya," kata Indi.

Bonus demografi ini tampak seperti sebuah anugerah, namun Indi menegaskan apabila tidak digunakan dan dijaga dengan baik maka akan menjadi bencana.

Indi menuturkan mengatakan investasi kesehatan bagi generasi muda jika tidak didukung maka populasi usia produktif akan menjadi sebuah beban bukan suatu aset.

Untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa remaja di Indonesia diperlukan peningkatan kesadaran, akses dan kualitas layanan kesehatan jiwa yang baik.

Orang tua, guru dan penyedia layanan kesehatan harus berperan aktif dalam mengidentifikasi remaja yang rentan dengan memberikan dukungan kepada mereka.

"Sebagai upaya mendukung pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa dan ide bunuh diri remaja di Indonesia, BRIN terus berkontribusi dalam melaksanakan riset dan inovasi terkait informasi dan intervensi yang tepat terkait kesehatan jiwa remaja. Selain itu BRIN juga terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menghasilkan riset yang tepat guna dan sesuai kebutuhan," sebut Indi.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Mengatasi Bunuh Diri Remaja

Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Gizi, Wahyu Pudji Nugraheni, menerangkan masalah kesehatan jiwa dan upaya bunuh diri dari kalangan remaja indonesia berkaitan dengan beberapa faktor untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan peningkatan kesadaran, akses, dan kualitas layanan kesehatan yang baik.

Wahyu menuturkan orang tua, guru dan penyedia layanan kesehatan dapat memainkan peran penting dalam mengidentifikasi remaja yang rentan, dan memberi mereka dukungan yang diperlukan.

"Selain itu, diperlukan kebijakan program yang mampu mengatasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kerentanan jiwa remaja di Indonesia," ucap Pudji.

Pudji ingin mengungkap data kondisi kesehatan jiwa remaja dan mengidentifikasi upaya yang telah disediakan serta yang berpotensi dalam pengendalian masalah kesehatan jiwa remaja di indonesia.

Sebab, masa remaja merupakan masa rentan mengalami masalah kesehatan jiwa. Pada masa ini remaja mengalami tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya, eksplorasi identitas, dan tuntutan berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi.

"Dalam kondisi demikian tentu remaja mungkin akan merasa harapan dari keluarga, serta lingkungan sekitar terlalu tinggi berpotensi menimbulkan stress dan juga putus asa," tutur Pudji.

 

3 dari 4 halaman

Bunuh Diri Kategrori Isu Utama Kesehatan

Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Irmansyah, mengatakan masyarakat sering keliru kalau ada yang bertanya tentang orang bunuh diri itu masalahnya apa.

Pantauan Irmansyah dari media sosial, bunuh diri itu masuk ke rubrik kriminal, bukan rubrik kesehatan. Selain itu juga pembahasan-pembahasan tentang kasus bunuh diri yang muncul itu selalu berfokus ke arah kriminal atau masalah sosial.

Irmansyah menegaskan bunuh diri merupakan isu kesehatan yang utama atau penting, terutama kesehatan masyarakat.

"Bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting dan telah menjadi gerakan global," ujar Irmansyah.

Tantangan di Indonesia, Irmansyah menyebut perhatian pemerintah hanya pada Rumah Sakit Jiwa (RSJ), justru Rumah Sakit Umum (RSU) memiliki potensi yang lebih tinggi untuk kejadian bunuh diri.

Pasalnya di RSU banyak merawat pasien kronis, dengan kejadian traumatik yang akut, serta berbagai masalah yang sebetulnya memicu tindakan-tindakan bunuh diri. Sehingga perlu peningkatan surveilens bunuh diri di RSU.

"Bunuh diri tidak termasuk sebagai layanan yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan ini memperkuat stigma beban ganda bagi individu dan keluarga, serta tidak diakui oleh negara yg dianggap sebagai sesuatu yang lebih berat. Kita juga kehilangan data penting untuk program pencegahan," kata Irmansyah.

Namun menurutnya, sekarang BPJS sudah lebih dari 90 persen cakupannya. Masyarakat bisa meminta BPJS untuk membiayai bunuh diri ini dan jadi terbuka data-datanya, dan diharapkannya akan semakin baik.

Irmansyah menyatakan ada beberapa tantangan bunuh diri dalam layanan kesehatan, yaitu mengidentifikasi individu yang berisiko bunuh diri dapat menjadi sulit, beberapa orang mungkin tidak memberikan petunjuk atau mencari bantuan.

Ketidakpastian prediksi seperti faktor-faktor individu yang kompleks, dan sulit diprediksi akurasinya.

"Stigma terhadap pikiran atau niat bunuh diri membuat individu enggan mencari bantuan atau terbuka. Ketakutan kepada penyedia layanan, khawatir membuat kesalahan dalam merawat pasien yang berisiko bunuh diri. Fasilitas kesehatan mental terutama di daerah tertentu, memiliki keterbatasan sumber daya untuk menangani pasien perawatan intensif," jelas Irmansyah.

Akses terhadap layanan darurat pasien menghadapi kesulitan untuk mendapatkan bantuan dengan cepat.

Tenaga kesehatan kurang terlatih dalam menangani krisis bunuh diri sehingga perlu pendidikan dan pelatihan tambahan.

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tidak siap untuk menangani kesehatan mental dan risiko bunuh diri.

"Keterlibatan keluarga dan dukungan sosial juga sangat penting. Isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial dapat menjadi faktor risiko yang signifikan. Kemudian, kepatuhan pasien terhadap perawatan, karena ada beberapa pasien yang sulit mematuhi rencana perawatan atau merasa pesimis terhadap efektivitasnya. Kepatuhan terhadap obat juga bisa menjadi masalah dan menimbulkan frustasi," tambah Irmansyah.

Tantangan lainnya tambah Irmansyah, yaitu koordinasi dan kontinuitas perawatan, harus adanya koordinasi antar tim, koordinasi perawatan, dan berbagi informasi menjadi kompleks.

Perawatan pasca kejadian dan dukungan jangka panjang sangat diperlukan. Layanan kesehatan di Indonesia belum ramah dengan bunuh diri, identifikasi, prevensi dan pelaporan belum maksimal.

"Masalah pembiayaan layanan bunuh diri menimbulkan beban ganda. Perlu perbaikan dan sistem layananan kesehatan terhadap orang dengan potensi dan upaya bunuh diri. Mendorong program pencegahan bunuh diri di masyakarat dengan edukasi dan penurunan stigma," tandas Irmansyah.

 

4 dari 4 halaman

Perempuan dan Laki-Laki

Hasil Penelitian Pakar Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor, Nova Riyanti Yusuf, mengungkapkan hasil penelitian desertasinya tentang deteksi dini faktor risiko bunuh diri pada remaja.

Kata Nova, berdasarkan data global school-based student health survey (GSHS) 2015 ide bunuh diri pada pelajar SLTP dan SLTA.

Pada perempuan lebih tinggi untuk ide bunuh diri, namun percobaan bunuh diri lebih banyak pada laki-laki.

Sedangkan pada bunuh diri secara global tampak bahwa paling tinggi kematian akibat bunuh diri pada usia 25 tahun, jadi untuk melakukan preventif harus sebelum usia 25 tahun.

"Dari berbagai referensi menunjukkan bahwa bunuh diri itu bisa dicegah. Bunuh diri menjadi emergensi dari kesehatan masyarakat, ini merupakan isu yang signifikan. Perlu Upaya preventif dengan pencegahan secara primer yang meliputi, intervensi sebelum efek kesehatan terjadi," tutur Nova.

Nova menambahkan, pengukuran risiko bunuh diri, terdiri dari peningkatan pencegahan bunuh diri, yang didasarkan pada identifikasi dan penilaian warning signs. Sekaligus juga adanya faktor risiko dan faktor protektif.

Partisipasi lebih nyaman untuk mengungkapkan informasi tentang topik bunuh diri melalui pengisian instrument self-report yang anonim daripada berbicara empat mata dengan pewawancara.

"Pengukuran self-report bukan pengganti untuk wawancara klinis yang terstruktur. Upaya penapisan skala besar harus bergantung kepada pengukuran self-report sebagai langkah pertama mengidentifikasi remaja berisiko," ucap Nova.

Sedangkan Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI), Herni Susanti memaparkan, berbagai upaya pelayanan kesehatan jiwa untuk remaja berbasis komunitas di Indonesia, dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang dihadapi remaja secara efektif dan holistik.

Komunitas memberikan dukungan sosial, edukasi, dan keterlibatan, yang dapat meningkatkan kesehatan jiwa remaja.

"Kemudian, komunitas dapat memberikan pemahaman tentang kesehatan jiwa dan membantu mengatasi stigma di kalangan remaja," jelas Herni.

Herni menerangkan upaya berikutnya mengadakan kegiatan dan pelatihan yang melibatkan remaja untuk membangun kesehatan jiwa yang lebih baik.

Membangun jaringan dengan pelayanan kesehatan jiwa untuk memudahkan remaja mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.

"Layanan kesehatan jiwa remaja berbasis komunitas dapat diselenggarakan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah, melalui puskesmas, kerja sama beberapa kementerian. Selanjutnya, dengan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan jiwa, dan tempat ibadah," ucap Herni.

Sedangkan untuk jenis pelayanan kesehatan jiwa, tambah Herni, dengan melalui edukasi dan promosi kesehatan jiwa.

Deteksi dini masalah kesehatan jiwa, penanganan awal masalah kesehatan jiwa, dan rujukan ke layanan kesehatan jiwa yang lebih lanjut.

"Upaya lainnya yaitu memasukkan beberapa indikator mental untuk sekolah yang sehat dengan memberikan pendidikan keterampilan hidup sehat atau kompetensi psikososial. Membuat wilayah kawasan tanpa rokok, tanpa narkoba, dan tanpa kekerasan," tukas Herni.