Sukses

Menanam Trembesi, Menyulap Udara Kotor Jadi Bersih

Dibanding tanaman lain, Trembesi yang bernama latin albizia saman, mampu menyerap banyak karbon pemicu perubahan iklim.

Liputan6.com, Kudus - Membuat perubahan gak bisa sendirian. Berangkat dari dalil itu, Bakti Lingkungan Djarum Foundation di Kudus mampu menyulap Kota Kretek yang pada 1970-an dikenal gersang menjadi hijau. Awalnya dibentuk Pusat Pembibitan Tanaman di Kawasan Perindustrian Djarum OASIS Kudus, sebagai basis pembibitan tanaman, yang terdiri dari tanaman langka, tanaman obat dan hias, tanaman buah, hingga tanaman konservasi.

Lebih dari 200 jenis tanaman dari empat kategori itu diupayakan kelestariannya, mulai dari persemaian yang menempati area seluas 4 hektare, kemudian dibudidayakan sampai pohon mulai membesar, lalu disebar ke kawasan yang dianggap gersang dan tidak produktif, seperti ke daerah pantura. Kerennya lagi, kawasan pembibitan ini juga dilengkapi area pengelolaan sampah, yang mampu mengubah sampah organik menjadi kompos.

Deputi Program Manager Bakti Lingkungan Djarum Foundation Yunan Aditya kepada wartawan, Rabu (29/11/2023) mengakui, setelah bibit membesar dan siap tanam, penyebaran pohon di tahun pertama tidak berjalan mulus. Banyak kendala yang dihadapi, mulai dari tanaman dimakan kambing, tanaman dicuri, sampai tanaman dirusak orang dengan gangguan jiwa.

Untuk menjawab tantangan itu, kolaborasi kreatif kemudian dilakukan dengan banyak pihak, termasuk masyarakat, akademisi, dan generasi muda.

"Dari kesadaran itu, sekarang bukan hanya pantura yang hijau, tapi memanjang sampai tol trans-Jawa, sepanjang 3.130 kilometer dengan sekitar 162 ribu pohon yang sudah ditanam," kata Yunan Aditya.

Inovasi kolaborasi ternyata tidak sampai di situ, area pengelolaan sampah organik yang ada di pusat pembibitan menjadi instrumen kolaborasi kreatif lainnya. Pengambilan sampah organik bukan hanya dari PT Djarum, tapi juga dikumpulkan dari masyarakat dan berbagai instansi di sekitaran Kudus, yang tentu sudah punya kesadaran pentingnya memilah sampah.

Dari sampah-sampah organik yang dikumpulkan itu, pusat pembibitan berhasil menyulap 50 ton sampah organik per hari menjadi pupuk kompos. Pupuk-pupuk kompos ini kemudian dikembalikan lagi ke masyarakat bersama dua bibit pohon per orang untuk ditanam di mana saja.

"Masyarakat kalau mau ambil (bibit) silakan, di sini banyak, mau pohon apa, nanti juga komposnya. Setelah itu kita pantau juga, benar gak ini, tumbuh gak. Komunitas juga boleh ambil banyak, bikin proposalnya, mau tanam di mana," kata Yunan.

Upaya pelestarian lingkungan ternyata bukan cuma mengubah yang gersang menjadi hijau, ada tugas besar lainnya di tengah dampak perubahan iklim akibat pemanasan global yang makin hari makin terasa. Jawabannya adalah dengan menanam Trembesi secara masif. Bukan tanpa sebab, Trembesi yang bernama latin albizia saman atau dalam bahasa Inggris disebut rain tree, bisa tumbuh sampai ketinggian 25 meter dengan diameter 30 meter.

Menurut Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, jika dibandingan dengan tanaman lain, Trembesi mampu menyerap karbondioksida (CO2) yang ada di udara lebih banyak, yakni 28,5 ton per tahun. Jika jejak karbon rata-rata orang Indonesia 1,8 ton per tahun, maka satu pohon Trembesi dapat mengurangi jejak karbon 15 orang.

Trembesi pohonnya juga rindang sehingga mampu menurunkan suhu hingga 4 derajat Celcius. Daunnya yang lebat bisa memperlambat jatuhnya air ke tanah sehingga bisa mencegah banjir dan erosi. Apalagi pertumbuhannya yang cepat, yakni 0,75-1,5 meter per tahun, sehingga sudah bisa mencapai tinggi 3 meter dalam tiga tahun.

Meski begitu, ada satu dampak negatif dari tanaman Trembesi, akarnya yang kuat disebut-sebut menjadi biang keladi kerusakan infrastruktur yang ada di sekitarnya. Solusinya adalah dengan memberi jarak aman penanaman Trembesi dengan bangunan yang ada di sekitarnya.

"Jarak aman yang ideal adalah 7 sampai 15 meter," kata Yunan.

Hingga 2023, Bakti Lingkungan Djarum Foundation bersama masyarakat telah menanam jutaan pohon Trembesi di sepanjang ribuan kilometer jalan di Pulau Jawa, Madura, Lombok, dan Sumatera.

 

2 dari 3 halaman

Butuh Kesadaran

Pada akhirnya menanam Trembesi menjadi salah satu solusi memperlambat dampak perubahan iklim daripada tidak berbuat apa-apa. Mengingat faktanya di Indonesia saat ini, intensitas bencana hidrometeorologi makin meningkat. Banjir bandang, longsor, dan puting beliung, makin sering terjadi. Tentu kita masih ingat petaka di Natuna pada awal tahun 2023. Longsor melanda dua lokasi di kawasan tersebut hingga memakan banyak korban jiwa.

Dini hari saat orang-orang terlelap, material tanah bercampur bebatuan besar tak hanya mengubur rumah, kebun, sumber air, tapi juga bersama kenangan di dalamnya. Sampai di situ hujan belum juga ada tanda-tanda reda. Malang tak dapat ditolak, longsor susulan yang lebih besar datang sekitar pukul 13.00 WIB, menimbun satu kampung di Serasan Timur. Pukul 15.00 pada hari kejadian, dilaporkan 10 orang ditemukan meninggal dunia, sementara sekitar 50 orang lainnya dinyatakan hilang.

Setelah kejadian nahas itu, rentetan bencana hidrometeorologi melanda banyak daerah di Indonesia. Terakhir di medio November 2023, banjir bandang menerjang Aceh Tenggara yang merenggut nyawa satu anak balita. Air meluap di 14 kecamatan yang berisi 50 desa, rumah warga dan fasilitas umum hancur dilimpas banjir bandang.

Anehnya, curah hujan selalu menjadi kambing hitam, sering disebut biang keladi tunggal bencana hidrometeorologi. Padahal sejatinya hujan adalah berkah, manusia sendiri yang mengubahnya menjadi bencana, saat intensitas hujan makin tinggi sementara deforestasi dan alih fungsi lahan terus dilakukan secara gila-gilaan.

Praktisi Komunikasi Isu Kelestarian Alam Juris Bramantyo saat Media Workshop bersama para jurnalis di Kudus, Kamis (30/11/2023) mengingatkan, ada dua cara yang bisa dilakukan setidaknya untuk memperlambat dampak perubahan iklim, yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi salah satunya dengan menanam pohon, sedangkan mitigasi adalah melakukan gaya hidup yang sadar lingkungan, seperti hemat energi, tidak konsumtif, dan mau mengelola sampah, sambil terus saling mengingatkan.

“Pemuka agama, pendeta, khotbah masjid dan di gereja seharusnya membicarakan isu lingkungan, karena mereka yang paling didengar,” kata Juris.

Adaptasi dan mitigasi menjadi omong kosong belaka jika tidak dibarengi dengan kesadaran dari diri individu masing-masing. Kesadaran inilah yang perlu ditanamkan dan disebar ke individu lain. Sudah saatnya kita berani bilang, bencana hidrometeorologi yang memakan banyak korban, bukan disebabkan karena hujan, apalagi azab Tuhan, tapi murni karena kelalaian.

3 dari 3 halaman

Infografis

Video Terkini