Liputan6.com, Bandung - Istilah “Meritokrasi” saat ini menjadi sorotan usai Anggota Dewan Pakar Timnas AMIN Abdul Malik menyebutkan sistem Meritokrasi perlu dijalankan sejak dini agar menghindari perilaku korup “Orang Dalam” atau Ordal.
Abdul Malik menyampaikan bahwa perilaku ordal adalah persoalan yang pada akhirnya akan berujung pada perilaku korupsi. Sehingga perlu adanya penerapan sistem meritokrasi yang memberikan kesempatan kepada seseorang berdasarkan kemampuan atau prestasi.
"Ordal ini persoalan yang ujungnya menjadi perilaku korup," kata Malik mengutip dari Antara.
Advertisement
Abdul Malik juga menyebutkan bahwa saat ini tindakan menggunakan "ordal" sudah sering terjadi di mana-mana. Mulai dari tempat kerja, pemerintahan, sekolah, dan tempat-tempat lainnya.
Maka dari itu, ia berpendapat bahwa dalam menghentikan tindakan tersebut perlu adanya pendidikan Meritokrasi sejak dini. Pendidikan tersebut bisa membantu dalam mencegah atau menekan perilaku “orang dalam” yang negatif.
"Kunci untuk meminimalkan ordal itu meritokrasi, dan ini harus ditanamkan sejak dini, mulai dari masuk sekolah," katanya.
Malik juga menjelaskan bahwa fenomena orang dalam bisa membuat orang yang pandai dan mempunyai kemampuan serta talenta kalah dengan orang yang mempunyai "ordal". Sehingga, tindakan tersebut perlu dihilangkan.
Sebagai informasi topik terkait orang dalam tersebut mulai ramai dibahas usai Anies Baswedan menyampaikan bahwa pelanggaran etika dan praktik "orang dalam" bisa merusak negara dalam acara Debat Capres pertama Pilpres 2024 pada Selasa (12/12/2023).
Lantas Apa Itu Meritokrasi?
Mengutip dari situs resmi Universitas Medan Area Meritokrasi berasal dari kata “Merit” atau manfaat. Istilah Meritokrasi merujuk kepada sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan untuk menentukan suatu jabatan tertentu dalam pemerintahan.
Istilah Meritokrasi pertama kali ditulis dalam buku Rise of the Meritocracy (1958) karya Michael Young. Diketahui, pengertian Meritokrasi dalam dunia kerja merupakan proses promosi dan rekrutmen karyawan berdasarkan dengan kemampuannya.
Kemampuan tersebut berdasarkan dari kemampuannya melaksanakan tugas dan bukan berdasarkan koneksinya dalam perusahaan. Sehingga, semua kemampuannya dinilai dari kinerja hingga prestasi karyawan tersebut.
Singkatnya Meritokrasi merupakan sistem yang lebih menekankan kepada kemampuan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu. Serta tidak memandang latar belakang etnik, koneksi, atau status sosial mereka.
Advertisement
Sejarah Meritokrasi dan Penerapannya di Indonesia
Sistem meritokrasi di negara maju telah diterapkan sejak ratusan tahun silam dan salah satu contoh modern dari sistem meritokrasi bisa dilihat di negara Singapura. Negara ini membentuk pemerintahan dan administrasi di berbagai sektor dan menempatkan para pemimpin berdasarkan prestasi atau kemampuan mereka.
Di Jepang sistem ini sudah ada sejak restorasi Meiji ketika pemimpinnya saat itu memberikan beasiswa ke luar negeri bagi siswa yang berprestasi. Kemudian pada masa Dinasti Utsmani sistem Meritokrasi juga pernah diaplikasikan sebagai upaya menjaga stabilitas negara yang terdiri dari beberapa etnik dan latar belakang budaya.
Sehingga, pada masa itu, bukan hal yang mengherankan jika melihat anak Balkan menjadi serdadu atau komandan militer Utsmani dalam penaklukan Eropa. Sementara itu, di Indonesia sistem ini juga pernah diterapkan.
Melansir dari Universitas Medan Area perdana menteri yang menerapkan Meritokrasi pada masa dinasnya adalah Sutan Sjahrir (1945-1947) dan Agus Salim (1947-1949). Diketahui mereka menerapkan sistem tersebut dan memilih menteri-menteri yang mumpuni di bidangnya.
Ir Juanda (1957-1959) juga pernah menerapkan sistem Meritokrasi tersebut melalui Zaken Kabinet. Selain itu ketika BJ Habibie menjadi presiden ia juga sempat berusaha menerapkan pola dan sistem yang mengarah kepada Meritokrasi dalam pemerintahan Indonesia.