Liputan6.com, Palu - Burung dengan ciri yang tak bisa terbang itu akan menempati TSI di Bogor sebagai bagian dari konservasi satwa endemik. Sebelumnya pada pertengahan tahun 2023 lalu seekor satwa endemik lainnya asal Sulawesi Tengah yakni Anoa juga ditempatkan di lokasi itu.
Sebanyak 14 ekor Burung Maleo itu lebih dulu menjalani serangkaian pemeriksaan baik administrasi dan kesehatan di Satuan Pelayanan Bandara Mutiara, Karantina Sulawesi Tengah, Selasa (19/12/2023).
Fokus pemeriksaan kesehatan yakni untuk mengetahui ada tidaknya gejala klinis Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) yang berpotensi menulari hewan-hewan lain jika tidak ditangani.
Advertisement
Hasil pemeriksaan kesehatan menyatakan kondisi satwa endemik itu aman dari penyakit dan siap ditempatkan di rumah barunya.
"Kami ingin memastikannya sehat. Satwa khas itu juga wajib lapor karantina sehingga saat dilalulintaskan wajib disertai sertifikat karantina," kata Made, Dokter Hewan Karantina Sulawesi Tengah, Selasa (19/12/2023).
Sementara secara administrasi Made memastikan sertifikat veteriner dari Dinas Peternakan Sulteng, SATS DN dari BKSDA, dan Surat Keputusan Dirjen KSDAE tentang persetujuan perolehan satwa liar yang dilindungi undang-undang untuk lembaga konservasi juga telah didapat untuk proses kepindahan satwa tersebut.
Di Sulawesi Tengah burung dengan nama ilmiah Macrocephalon Maleo itu sendiri menjadi salah satu satwa prioritas konservasi. Sebaran burung tersebut di Sulteng di antaranya terdapat di Taman Nasional Lore Lindu di Kabupaten Sigi, Banggai, dan Tolitoli.Â
Perubahan ekosistem, manusia, dan hewan predator menjadi ancaman burung dengan warna identik hitam dan putih tersebut.
Baca Juga