Sukses

AJI Imbau Media Tak Jadi Amplifikator Narasi Kebencian Terhadap Rohingya

Pengungsi Rohingya belakangan jadi sasaran disinformasi serta narasi negatif dan kebencian di media sosial.

Liputan6.com, Aceh - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama AJI Kota Banda Aceh menyerukan kepada seluruh media agar tidak ikut-ikutan mengamplifikasi kampanye disinformasi dan narasi kebencian yang belakangan menargetkan pengungsi Rohingya di Aceh. Media dinilai berperan vital dalam memverifikasi konten yang mengandung disinformasi.

Selain itu, media juga bisa mengambil peran untuk mengawasi setiap tindakan kekerasan dan diskriminatif yang menargetkan pengungsi. Belakangan, AJI masih menemui pemberitaan media yang mengamplifikasi disinformasi dan narasi kebencian yang dapat mempertebal diskriminasi dan kebencian di tengah masyarakat serta dapat mengarah pada tindakan kekerasan, baik secara langsung maupun tidak kepada pengungsi etnis Rohingya. 

"Media harus berhati-hati di tengah banjirnya hoaks dan narasi kebencian terhadap etnis Rohingya yang terjadi menjelang Pemilu 2024, sehingga isu ini mudah dipolitisasi demi tujuan elektoral," kata Ketua AJI Indoenesia, Sasmito Madrim, dalam siaran tertulis diterima Liputan6.com, Kamis (28/12/2023).

Sasmito menegaskan bahwa hak-hak pengungsi, termasuk pengungsi anak-anak dan perempuan harus didepankan di dalam pemberitaan. Selain itu, media juga harus memberitakan tentang fakta-fakta atas situasi kekerasan yang dialami etnis Rohingya di negara asal, termasuk kondisi kamp pengungsian sebelumnya yang membuat pengungsi memilih mencari keselamatan ke negara lain serta apa tanggung jawab pemerintah dalam penanganan para pengungsi ini.

AJI juga menegaskan pentingnya media memahami bahwa kendati Indonesia belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, tetapi negara ini memiliki UU Hak Asasi Manusia, dan terikat pada prinsip hukum internasional yaitu non-refoulement.

Prinsip non-refoulement ini melarang penolakan terhadap setiap individu yang mencari suaka dan meminta perlindungan dari masyarakat internasional akibat menghadapi persekusi dan penganiayaan di negara asalnya. Selain itu, terdapat pula instrumen hukum internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Konvensi Anti Penyiksaan.

Pemerintah juga telah mengeluarkan Perpres No. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Perpres ini dapat dijadikan sebagai acuan pemerintah dalam menangani pengungsi dari luar negeri, karena secara komprehensif telah ikut mengatur pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah dengan pembiayaan dari organisasi internasional dalam menangani kondisi darurat seperti yang terjadi saat ini.

2 dari 3 halaman

Berpedoman pada Kode Etik

Sementara itu, Ketua AJI Kota Banda Aceh, Juli Amin, mengatakan media harus secara intensif mengawasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan Perpres No 125/2016 dan berbagai prinsip hukum internasional untuk menangani dan menjamin hak-hak pengungsi Rohingya sebelum para pengungsi mendapat suaka di negara lain. 

Juli berkaca pada pengalaman tahun 2015, ketika pemerintah daerah dan masyarakat Aceh berbondong-bondong menyambut baik kedatangan pengungsi Rohingya di Serambi Makkah. Pengalaman dan praktik baik masyarakat Aceh dalam menerima pengungsi Rohingya yang pernah berlaku beberapa tahun lalu itu harus diperkuat melalui pemberitaan media agar dapat meredam narasi kebencian yang kini berseliweran.

Juli juga mengingatkan adanya Kode Etik Jurnalistik Pasal 1, Pasal 3, dan Pasal 8 yang dapat dijadikan sebagai acuan jurnalis selama memberitakan isu pengungsi. Pasal 3 mengatur agar wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pasal 8 menegaskan bahwa wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

“Selain memberitakan tentang fakta yang sudah dicek kebenarannya, media juga harus mampu menyuarakan nilai-nilai dasar kemanusiaan, termasuk keragaman, saling berbagi, dialog, bertukar ide dan pengetahuan, saling toleransi dan saling menghormati, saling bergantung, dan saling terhubung sebagai sesama manusia,” cetus Juli.

3 dari 3 halaman

Media Harus Melakukan Verifikasi

Untuk diketahui, pengungsi Rohingya belakangan jadi sasaran disinformasi serta narasi negatif dan kebencian di media sosial, setelah 1.887 pengungsi Rohingya mendarat di sejumlah pantai di Provinsi Aceh sejak awal November hingga Desember 2023. Keadaaan ini kian memperdalam sengkarut penanganan pengungsi di Indonesia serta meningkatkan sentimen negatif publik atas etnis Rohingya.

Di antara disinformasi dan narasi kebencian itu seperti etnis Rohingya akan menjajah Indonesia serta konten yang membingkai perilaku buruk pengungsi Rohingya yang kemudian digeneralisasi secara bias. Kejadian yang paling anyar adalah saat sejumlah mahasiwa yang menamakan dirinya Mahasiswa Nusantara melakukan pengusiran terhadap 137 orang pengungsi Rohingya yang didominasi perempuan dan anak-anak di Balai Meusara Aceh (BMA) pada Rabu 27 Desember 2023.  

Sebagai tambahan, saat ini terdapat sebanyak 14 ribu pengungsi dari berbagai negara yang berada di Indonesia yang belum jelas masa depannya. Mereka berasal dari berbagai negara yang korban dan menderita atas berbagai konflik dan kekerasan termasuk pengungsi dari Afghanistan dan etnis Rohingya.

Dalam konteks masuknya pengungsi Rohingya ke wilayah Aceh dan isu-isu terkait migrasi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan AJI Banda Aceh mengimbau media untuk melakukan hal seperti menjaga keseimbangan dan keakuratan informasi dalam menarasikan pengungsi Rohingya. Jurnalis diharapkan untuk melakukan verifikasi informasi secara cermat, memeriksa fakta, dan mencari sudut pandang yang beragam guna menghasilkan laporan yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak pengungsi.  

Kedua, menyuarakan kemanusiaan. Peliputan mengenai pengungsi Rohingya seharusnya tidak hanya mencakup aspek politik dan hukum, tetapi juga menyoroti sisi kemanusiaan, termasuk kebutuhan dasar, penderitaan, serta usaha dan solidaritas masyarakat untuk membantu. Ketiga, menghindari narasi kebencian dan stereotipe. Pemberitaan seharusnya menghindari generalisasi yang dapat memicu prasangka negatif dan diskriminasi. Jurnalis diharapkan dapat membahas isu ini dengan penuh empati dan pemahaman mendalam.

Keempat, berhati-hati dalam menggunakan diksi, kata dan kalimat, sehingga tidak menarasikan dengan cara negatif dan berpotensi membuat posisi pengungsi semakin rentan. Terakhir, adanya penghargaan terhadap Keanekaragaman Budaya. Di sini, media diharapkan menghargai dan merayakan keanekaragaman budaya dan latar belakang masyarakat Rohingya. Hal ini dapat membantu mendorong pemahaman yang lebih baik dan mengurangi prasangka.