Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan bahwa penghitungan utang pemerintah tidak sama dengan membagi rata total utang dengan jumlah penduduk Indonesia. Hal itu tidak dikenal dalam kaidah perhitungan utang secara internasional.
"Jadi, dalam pengelolaan keuangan negara, tidak dikenal utang dibagi per kepala," kata Direktur Surat Utang Negara, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Deni Ridwan.
Ia menjelaskan, perhitungan yang lazim adalah perbandingan utang dengan Gross Domestic Product (GDP). Hal itu sebagai gambaran dari ukuran ekonomi suatu negara, sekaligus kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak.
Advertisement
Baca Juga
Per 30 November 2023, utang pemerintah Indonesia sebesar Rp 8.041,01 triliun, atau setara 38,11 persen dari GDP. Posisi utang itu masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan UU No.1/2003 tentang Keuangan Negara, yakni 60 persen.
"Rasio utang terhadap GDP cenderung turun bila dibanding dengan tahun lalu, dimana pada akhir tahun 2022 sebesar 39,70 persen dari GDP, " kata Deni.
Lalu bila dibandingkan dengan negara lain, utang Indonesia juga tergolong lebih rendah, seperti, Malaysia 60,4%, Filipina 60,9%, Thailand 60,96%, Argentina 85%, Brazil 72,87%, dan Afrika Selatan 67,4%.
"Karena itu, kondisi utang Indonesia dipastikan masih aman, dan dikelola dengan hati-hati," ucapnya.
Deni menjelaskan, dari total utang pemerintah di atas (Rp 8.041,01 T) sebanyak 88,61 persen (atau Rp 7.124,98 triliun) bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN), dan 11,39 persen (atau Rp 916,03 triliun) dari pinjaman.
Lalu bila dirinci, dari komposisi SBN itu sebesar 71,54 persen (atau Rp 5.752,25 triliun) dari investor dalam negeri dengan mata uang Rupiah. Sementara sisanya 17,07 persen adalah valuta asing.
Kemudian, pinjaman pemerintah terdiri dari pinjaman dalam negeri sebanyak Rp 29,97 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 886,07 triliun.
"Ini menunjukkan pengelolaan kita semakin baik karena utang yang kita terbitkan didominasi dalam mata uang rupiah dan dijual di pasar domestik. Resiko currency-nya semakin kecil," tutur Deni.
Ke depan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPRR) Kemenkeu memiliki strategi untuk menjaga agar pengelolaan utang Indonesia semakin baik. Diantaranya dengan mengurangi volume utang, memprioritaskan utang domestik dalam bentuk Rupiah, dan menjaga agar tenor utang semakin panjang.
"Terakhir adalah mendorong SBN ritel untuk individu. Sehingga masyarakat punya opsi lebih untuk berinvestasi dengan imbal hasil yang baik dan aman, sekaligus berkontribusi pada pembangunan," ucapnya.