Liputan6.com, Jakarta - Rizal Ramli dikabarkan wafat pada Selasa (2/1/2024) saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta di usia 69 tahun. Kepergian ekonom senior yang menderita kanker pankreas ini pun meninggalkan kenangan di mata para sahabat, para pengamat ekonomi dan kebijakan publik tanah air.
Rizal Ramli yang dikenal kritis menjadi sosok yang meninggalkan banyak kenangan bagi Didik J Rachbini, ekonom senior yang turut mendirikan Institute for Development of Economic and Finance (Indef). Ia membagikan kisah hubungannya dengan sosok Rizal yang pada era 2000-2001 saat menjabat sebagai Menko Perekonomian. "Ia menelpon saya langsung dari kantornya hanya sekadar memberi apresiasi dan respek terhadap muatan ide di dalam tulisan saya di harian Kompas tentang utang Luar Negeri," ungkapnya.Â
Menurutnya, topik utang luar negeri sangat penting diulas kala itu karena dahulu Indonesia sangat bergantung dengan utang luar negeri. Ide tulisan di beberapa surat kabar itu pun akhirnya terbit menjadi buku Ekonomi Politik Utang. "Pengalaman bersama dan komunikasi saya dengan Rizal Ramli bersifat akademik, intelektual sampai yang bersifat pribadi. Saya memahami gejolak di dalam dirinya untuk terus mengobarkan tidak hanya hal akademik dan riset, tetapi juga gerakan yang terus menonjol dalam aktivitasnya sehari-hari," bebernya.
Advertisement
Pada akhirnya, Rizal Ramli pun mendirikan lembaga think tank yakni Econit bersamaan dengan ia mendirikan Indef. Kedua lembaga ini lahir di masa orde baru di mana ada monopoli kebenaran yang hanya dari ekonom pemerintah. Menurutnya, Rizal adalah sosok yang kritis kepada pemerintahan. Hingga di masa-masa akhir hidupnya ia masih aktif menyuarakan perlawanan terhadap praktik anti demokrasi.
Baca Juga
"Sepanjang hayatnya tidak pernah berhenti untuk menjaga demokrasi dengan caranya dan melakukan melakukan koreksi terus-menerus bahkan ketika demokrasi remuk redam seperti sekarang ini. "Check and Balances" di dalam demokrasi formal parlemen mati, Rizal Ramli tampil ke depan sehingga muruah demokrasi yang jatuh masih terlihat ada dinamika," ujar Rektor Universitas Paramadina ini. Â
Didik menambahkan Rizal tetap menjadi tokoh yang memilih berada di luar lingkaran dengan kapasitasnya sebagai ekonom, intelektual yang berbicara dengan data dan fakta ekonomi politik. "RR merasa tidak memerlukan baju partai karena dianggap tidak memadai untuk menjaga apalagi mendorong demokrasi. Jadi banyak orang yang tetap melihat figur RR adalah tokoh yang berpengaruh dalam menjaga demokrasi," bebernya.
Bahkan, semasa hidupnya Rizal Ramli tetap dalam arus gerakan hingga menjadikan rumahnya markas diskusi dan sekaligus gerakan. Tujuannya tak lain untuk mengkontrol demokrasi berlangsung di tanah air, di mana ia selamanya tetap menjadi oposisi yang kritis.
Dedikasi Sang Penerobos
Tidak hanya Didik, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat juga memandang sosok Rizal Ramli sebagai pejuang nilai-nilai demokrasi. Dia menyebut Rizal sebagai "Sang Penerobos," karena perjuangan ikhlas hingga akhir hayatnya. "Dalam dinamika politik Indonesia, Rizal Ramli muncul sebagai sosok yang menonjol, konsisten, dan penuh integritas dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi serta melawan berbagai bentuk penyimpangan seperti korupsi, feodalisme, dan nepotisme," paparnya.
Menurutnya, Rizal Ramli dapat dianggap sebagai pribadi yang tidak pernah berkompromi sedikit pun dalam menghadapi tantangan demi terwujudnya tatanan masyarakat yang lebih adil dan demokratis. Dia menilai, sebagai mantan tokoh pergerakan mahasiswa, Rizal Ramli telah membuktikan komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi sejak awal.
"Rizal Ramli bukan hanya melihat demokrasi sebagai suatu sistem politik, tetapi juga sebagai fondasi bagi kehidupan bermasyarakat yang adil dan merata," tambah dia.
Rizal Ramli juga dikenal sebagai sosok yang tegas melawan korupsi. Keterlibatannya dalam berbagai jabatan pemerintahan tidak pernah menghentikannya untuk menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang dianggapnya tidak benar. Dengan tindakan ini, Rizal Ramli menunjukkan bahwa integritasnya lebih tinggi dari kepentingan pribadi atau politik.
"Pemberantasan feodalisme dan nepotisme juga menjadi fokus perjuangan Rizal Ramli. Keberaniannya menolak jabatan internasional sebagai bentuk komitmen untuk lebih fokus pada negara dan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa Rizal Ramli memandang kedaulatan dan keadilan dalam negeri sebagai prioritas utama," bebernya.
Julukan Sang Penerobos mencerminkan sikapnya yang tidak konvensional namun tepat sasaran. Rizal Ramli terus menggulirkan ide-ide inovatif untuk memajukan Indonesia, sekaligus memberikan suara kepada mereka yang mungkin tidak terdengar dalam lingkaran kekuasaan.
"Dengan menerima tugas dari Presiden Joko Widodo untuk mengurus bidang kemaritiman dan sumber daya, Rizal Ramli kembali memperlihatkan kesetiaannya pada negara. Meskipun sekian lama tidak berada dalam lingkaran utama kekuasaan, penerimaan tugas tersebut menandakan bahwa Rizal Ramli siap untuk berkontribusi dalam upaya menciptakan perubahan positif," kata dia.
Ia memandang Rizal Ramli sebagai pahlawan demokrasi dan pembela keadilan yang tak kenal kompromi. Melalui perjuangannya, ia telah membuktikan bahwa perubahan yang nyata memerlukan ketegasan, konsistensi, dan integritas. "Indonesia perlu lebih banyak orang-orang seperti Rizal Ramli," katanya.
Apalagi jika berbicara tentang perubahan dan keberpihakan kepada rakyat kecil, menjadi sangat penting dalam konteks pembangunan Indonesia. Rizal Ramli sendiri telah membuktikan bahwa perubahan yang nyata memerlukan ketegasan, konsistensi, dan integritas. Namun, tantangan besar yang dihadapi Indonesia, seperti diuraikan oleh Rizal Ramli, adalah dominasinya oleh school of thought yang lebih mengandalkan pola pikir Washington Consensus daripada model Asia Timur.
Menurut dia, pentingnya mendukung pemimpin yang berkomitmen untuk merumuskan kebijakan ekonomi mandiri, berorientasi pada kepentingan nasional dan rakyat, menjadi esensi dari narasi ini. Isu terkait dengan neo-kolonialisme, ketergantungan pada lembaga-lembaga keuangan internasional, dan sub-ordinasi terhadap kepentingan asing perlu dipertanyakan dan diubah.
"Indonesia memerlukan pemimpin yang memiliki visi untuk mengubah school of thought dalam pembangunan ekonomi," tutupnya.
Advertisement