Sukses

Fenomena Fatherless: Punya Ayah tapi Masih Butuh Ayah

Fatherless atau fenomena minimnya peran ayah dalam pengasuhan anak baik secara fisik maupun psikologis merupakan isu sosial yang akhir-akhir ini cukup ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menempati peringkat ketiga kategori fatherless country di dunia. Fatherless atau fenomena minimnya peran ayah dalam pengasuhan anak baik secara fisik maupun psikologis merupakan isu sosial yang akhir-akhir ini cukup ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. 

Dampak fenomena fatherless ini terlihat dari karakter anak yang kurang terbentuk dengan baik sehingga berpengaruh pada lingkungan sosial di sekitarnya, atau dari berbagai kasus perselisihan rumah tangga yang menyebabkan perceraian. 

Kok bisa fenomena ini terjadi, bahkan sangat banyak di Indonesia? Simak penjelasan berikut.

Faktor Penyebab Fatherless Terjadi

Athaya Nadiya Asyhar, alumnus Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) IPB University yang sempat melakukan studi mengenai kasus-kasus fatherless di Indonesia mengatakan, fenomena fatherless terjadi karena faktor internal atau eksternal. 

Faktor internal yang mendorong terjadinya fatherless tersebut antara lain kurangnya pengetahuan dan inisiatif, esensi maskulin, pemahaman tentang peran ayah, serta kepercayaan diri seorang ayah. 

“Sementara faktor eksternal penyebab terjadinya fatherless yakni dominasi dari pasangan, persepsi sosial yang negatif tentang ayah, lingkungan sosial yang homogen dan masih menganut patriarki, serta pekerjaan yang tidak family friendly. Faktor-faktor ini dapat terjadi baik disadari maupun tidak sepenuhnya,” katanya dalam kegiatan Bincang ASA IKK beberapa waktu lalu.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Harmonisasi Gender dalam Mengasuh Anak

Sifat maskulinitas diperlukan dalam pengasuhan anak untuk memberikan energi yang kuat dalam mengejar tujuan, melewati rintangan, dan melatih kedisiplinan. Apabila hanya diasuh penuh oleh ibu yang dominan memiliki sifat feminitas atau memberikan energi submisif, anak cenderung lebih lemah dan mudah menyerah begitu berhadapan dengan tantangan hidup ketika beranjak dewasa.

“Perlu ada harmonisasi gender antarkedua orangtua dalam mengasuh anak, yakni kerja sama yang saling menguntungkan dalam menjalankan peran, fungsi, dan tanggung jawab,” tuturnya. 

Athaya mengajak para mahasiswa selaku calon-calon orangtua untuk menyuarakan pentingnya isu ini demi kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik.

Penulis: Syifa Shabreena, Mahasiswi IPB University, Workshop Jurnalistik Koran Kampus IPB