Liputan6.com, Jakarta - Indonesia masih menghadapi permasalahan serius dalam hal pengelolaan sampah di berbagai lokasi di tanah air, baik berupa sampah organik maupun anorganik. Namun, dokumen riset 'Potret Sampah 6 Kota" yang dilakukan Net Zero Waste Consortium menemukan fakta bahwa sampah organik kuantitasnya lebih banyak dibanding anorganik.
Meski dari tonasenya sampah organik lebih besar dibanding sampah anorganik, namun volume sampah anorganik seperti plastik dan kertas mendominasi timbulan sampah di berbagai tempat. Sebut saja tong/bak, Tempat Pembuangan Sampah (TPS), transporter, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), di lingkungan seperti badan air, pinggir jalan, sawah, pesisir, laut, dan lain-lain.
"Serpihan kemasan produk berbagai brand adalah timbulan sampah terbesar di 6 kota berikut sampah plastik kresek dan kemasan plastik berupa saset, bungkus plastik, tetrapack, botol, cup, popok, wadah plastik juga mendominasi timbulan sampah di berbagai site dan rantai jalur sampah termasuk di TPA," sebut dokumen riset Potret Sampah 6 Kota yakni Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya, dan DKI Jakarta.
Advertisement
Baca Juga
Riset ini sendiri bertujuan untuk menelisik timbulan sampah di 6 kota dengan cara mengambil sampel sampah di TPS, TPA dan tempat-tempat lain yang ditetapkan yakni kisaran 12 sampai 17 titik sampling di setiap kota. Kemudian, dilakukan pengukuran tonase atau bobot sampah tersebut yang kemudian dimasukkan ke dalam wadah kotak dari kawat wiremash ukuran 1 x 1 x 1m guna mengetahui volumenya. Selanjutnya sampah tersebut dipilah sesuai jenisnya yakni sampah organik dan anorganik.
"Sampah organik kembali dipilah ke dalam beberapa jenis dan demikian juga sampah anorganik juga dipilah menjadi beberapa jenis. Langkah berikutnya sampah plastik dipilah kembali berdasarkan jenis kemasan yakni saset, bungkus, kantong, botol, cup, styrofoam yang kemudian dari masing-masing jenis kemasan plastik ini dikumpulkan sesuai merek dan diakhiri dengan menghitung satuan sampah plastik tersebut sesuai merek," papar dokumen riset tersebut.
Hasilnya, pada daftar sepuluh besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan, laporan menyebut porsi terbesar (59.300 buah) adalah serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi. Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus Indomie (37.548).
Lima peringkat setelahnya berturut-turut adalah sampah plastik empat brand minuman populer, yakni AQUA kemasan gelas, botol Sprite, Club kemasan gelas, VIT kemasan gelas dan botol Fanta. Dua peringkat terbawah adalah sampah saset Sunsilk dan bungkus kopi Kapal Api. Secara keseluruhan, sampah kesepuluh brand makanan dan minuman tersebut mencapai 17% dari total sampah yang berhasil diidentifikasi dalam riset.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Sampah AMDK Gelas, Botol dan Galon
Lebih lanjut, sampah plastik berupa botol dan gelas air minum dalam kemasan (AMDK) menjadi salah satu dari 10 jenis sampah plastik terbanyak di enam kota. Memang, alasan kepraktisan, jaminan mutu dan harga yang relatif terjangkau membuat AMDK menjadi kebutuhan bagi sebagian masyarakat. Namun konsumsi masif masyarakat atas aneka produk tersebut, utamanya kemasan gelas dan botol, berujung timbulan sampah plastik yang tak diinginkan di banyak kota.
Riset yang dilakukan konsorsium peduli sampah berbasis Jakarta itu menyebut sampah plastik sejumlah brand air mineral ditemukan dalam volume yang besar di banyak tempat. Khusus sampah plastik air mineral, tercatat total sampah AQUA gelas, Club gelas dan VIT (urutan ketujuh) masih jauh lebih besar dari total serpihan plastik (urutan pertama) yang berhasil diidentifikasi.
AQUA, merupakan brand AMDK dari perusahaan multinasional Danone di Perancis. Kemudian, VIT merupakan salah satu brand milik PT Tirta Investama yang juga berasal dari pabrikan AQUA. Sementara Club adalah brand milik perusahaan lokal berbasis Surabaya.
Riset ini juga menyebut sampah produk konsumen dengan kemasan besar justru lebih mudah dikelola dan lebih bernilai ekonomis ketimbang sampah produk konsumen yang ukuran kemasannya relatif kecil yang oleh sebagian masyarakat dianggap 'sampah kecil'. Misalnya, sampah galon sekali pakai brand Le Minerale yang tidak masuk dalam daftar produk konsumen yang sampahnya ditemukan di tempat pembuangan akhir sampah di enam kota.
"Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut. Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar," kata Lead Researcher Net Zero, Ahmad Syafrudin.
Menurut Ahmad, temuan riset mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif. Padahal, dalam skema Extended Producer Responsibility atau EPR, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk.
Terkait dengan hal itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan Up Sizing dimana produsen didorong untuk meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah. Sampah botol plastik produk minuman sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka. Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.
"Kami mendapati bank sampah di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun, karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning)," katanya.
Ahmad juga menegari ketidakjelasan terkait implementasi ERP dan CR menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu. "Pemerintah perlu meningkatkan panduan dan bimbingan teknis pelaksanaan EPR dan CE agar program ini lebih efektif dan bahkan mampu mengatasi bias pada klaim sepihak oleh yang memperoleh amanat (produsen) dengan modus pencitraan perusahaan semata," katanya.
Advertisement