Sukses

Heboh Tarif Pajak Hiburan Naik, Kemenkeu: Tidak Semua Pajak Hiburan Naik

Baru-baru ini heboh pembahasan terkait naiknya tarif pajak hiburan. Sementara itu Kemenkeu sebutkan tidak semua pajak hiburan mengalami kenaikan.

Liputan6.com, Bandung - Masyarakat khususnya pelaku usaha hiburan dan pariwisata baru-baru ini dibuat heboh dengan kabar kenaikan tarif pajak hiburan. Sejumlah pelaku usaha menyoroti rencana kenaikan pajak hiburan terutama yang naik hingga 40 hingga 75 persen.

Salah satu pelaku usaha yang menyoroti keputusan tersebut adalah penyanyi dangdut Inul Daratista. Melalui unggahan Instagramnya Inul menyoroti rencana pajak 40% untuk industri hiburan mengingat Inul mempunyai bisnis hiburan karaoke.

"insan music 40% Band/hiburan/karaoke dll , puasa libur wajib 1 bulan yg terlibat manusia jelata byk sekali di dlmnya yg butuh makan, para owner selalu kelimpungan dgn libur tp full gaji dan THR lebaran wajib," tulis @inul.d.

Selain itu, pengacara kondang Hotman Paris juga menyoroti pemberitaan tersebut dan meminta Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar membatalkan kenaikan pajak hiburan 40 hingga 75 persen.

Melansir dari Antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini menyatakan bahwa tidak semua tarif pajak barang jasa tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan atau pajak hiburan naik menjadi 40 persen hingga 75 persen.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lydia Kurniawati Christyana menyebutkan bahwa ada sekitar 12 jenis pajak hiburan yang diatur. Sehingga, ia meminta agar publik tidak menggeneralisasi seluruh pajak hiburan tersebut.

"Ada 12 jenis pajak hiburan yang diatur. Poin 1-11 yang semula 35 persen, diturunkan pemerintah menjadi paling tinggi 10 persen. Kalau poin 12, pajaknya batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Jadi, jangan digeneralisasi," ujarnya ketika media briefing di Jakarta Selasa (16/1/2024).

2 dari 3 halaman

Bukan Jenis Kebijakan Baru

Lydia menuturkan bahwa menurutnya ketentuan tersebut bukan jenis kebijakan baru dan menjelaskan bahwa PBJT hiburan atau pajak hiburan telah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah suatu jenis pajak baru, sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pada masa itu, objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan telah dipungut dengan nama pajak hiburan,” ujarnya mengutip dari Kemenkeu.

Namun aturan tersebut diperbarui dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Diketahui dalam UU tersebut pajak hiburan terhadap 11 jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.

Sebelas jenis pajak tersebut berdasarkan dari Pasal 55 UU Nomor 1 Tahun 2022 di antaranya tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan.

Kemudian kontes binaraga; pameran; serta pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran.

Selanjutnya rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; serta panti pijat dan pijat refleksi.

Sementara itu untuk jenis hiburan diskotik, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap atau spa pemerintah memperbarui kebijakan dengan menetapkan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen.

Perbedaan tersebut dengan mempertimbangkan jenis hiburan tersebut karena hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu. Sehingga, pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.

3 dari 3 halaman

PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan adalah Pajak Daerah

Mengutip dari Kemenkeu, Lydia juga menjelaskan bahwa PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan merupakan pajak daerah. Sehingga UU HKPD memberikan ruang kepada pemerintah daerah dengan memberikan wewenang atau diskresi untuk menetapkan dan menyesuaikan tarif PDRD sesuai dengan kondisi perekonomian di wilayah masing-masing.

Kewenangan tersebut juga termasuk dalam menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu dalam jarak 40 hingga 75 persen. Serta UU HKPD turut mengatur kewenangan Pemda dalam memberikan fasilitas berupa insentif fiskal guna mendukung kemudahan berusaha dan berinvestasi di wilayah masing-masing.

"Ini adalah dukungan agar daerah semakin mandiri, semakin ketemu keseimbangan fiskalnya. Maka, kita perlu berpikir agar assignment-nya tidak hanya memberikan transfer ke daerah, tapi bagaimana mendukung daerah meningkatkan pendapatan mereka dengan kondisi tertentu yang perlu dilakukan pengendalian," ujar Lydia, dari Antara.

Video Terkini