Sukses

Guru Besar UGM: Sebagian Kebutuhan Susu Nasional Bisa Dipenuhi dari Kambing

Hingga saat ini hewan ternak yang paling dominan penghasil susu adalah sapi perah, padahal selain sapi perah, ternak mamalia lainnya seperti kerbau, kambing perah dan kuda juga mampu menghasilkan susu meski proporsinya sangat kecil.

Liputan6.com, Yogyakarta Indonesia memiliki kebutuhan susu mencapai 4,4 juta ton atau 11 ton per hari, namun data BPS tahun 2022 hasil produksi susu nasional baru mencapai 968.980 ton dari 569,43 ribu ekor sapi. Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Prof. Ir. Yustina Yuni Suranindyah dalam pidato pengukuhan Guru Besar dirinya dalam bidang Ilmu Peternakan, Selasa (16/1/2024) kambing perah menjadi salah satu solusi  mencukupi kebutuhan susu nasional dari sapi perah.

“Ukuran tubuh yang kecil, cepat dewasa, waktu buntingnya pendek serta prolifik, menjadikan kambing cepat berkembang biak dan tidak membutuhkan modal yang besar,” jelasnya di ruang Balai Senat, Gedung Pusat UGM  Selasa 16 Januari 2024.

Yustina mengatakan bahwa ternak kambing perah memiliki keunggulan sendiri antara lain kemampuan beradaptasi pada wilayah geografis dan kondisi iklim yang sangat bervariasi. Selain itu di seluruh dunia terdapat 570 bangsa kambing, 146 di antaranya terdapat di Asia dan 94% nya merupakan penghasil daging.  

Kondisi di Asia bangsa kambing perah terhitung sangat kecil dari kambing pedaging, yaitu hanya 13 bangsa kambing perah murni di Asia dengan kemampuan produksi susu rendah sampai sedang. Meskipun demikian masih ada 15 bangsa kambing yang termasuk potentially improver breeds atau bangsa kambing yang potensial membentuk ras spesial dengan sifat genetik tertentu dan 13 dual purpose. 

Potentially improver breed ini memiliki penampilan produksi lebih dari rata-rata. Sementara bangsa kambing yang paling dominan di Indonesia pada awalnya adalah kambing Kacang dan kambing Etawah. 

"Kambing Kacang, merupakan ternak asli Indonesia, yang terdapat di pulau Jawa dan Sumatera, tetapi pendapat lain mengatakan kambing Kacang dibawa masuk oleh orang Hindu, kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat, dan dipelihara secara turun-temurun di wilayah Indonesia."

Sedangkan, kambing Etawah berasal dari India, diimpor oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan tujuan menghasilkan susu bagi orang-orang Belanda di sekitar tahun 1925. Kambing Etawah masuk pertama kali di Pulau Jawa, dikembangbiakkan di daerah perbukitan Menoreh sebelah barat Yogyakarta dan di Kaligesing, Purworejo. 

"Seiring dengan perjalanan waktu terjadi perkawinan silang antara Etawa dengan kambing lokal yang menghasilkan kambing Peranakan Etawah (PE)."

Ia mengatakan ada beberapa daerah sudah mengenal lama susu kambing perah. Salah satunya dari susu kambing dari hasil persilangan yaitu peranakan Etawah.  

”Etawah merupakan kambing penghasil susu terbaik di daerah tropis,” katanya. 

Secara genetik, kambing PE memiliki potensi tinggi sebagai penghasil susu, produksi susu mencapai  0,96 sampai 1,34 liter per hari, selama 5 sampai 7 bulan. Pada sistem ini pengelolaan kambing PE diarahkan sebagai ternak perah, dengan memaksimumkan produksi susu seluruh masa laktasi untuk kebutuhan susu komersial. 

”Dalam hal ini peternak mengatur waktu penyapihan dan pemenuhan nutrien untuk pertumbuhan anaknya,” jelasnya.

Upaya memaksimalkan produksi susu pada kambing dual purpose dapat dilakukan dengan manajemen laktasi, penyapihan, pemanfaatan susu pengganti, suplementasi pakan pada induk laktasi, dan memperpanjang masa laktasi.  Pada kambing PE, masa laktasi dapat diperpanjang sampai lebih dari 1 tahun, dengan cara menunda perkawinan setelah beranak. 

”Peternak dapat memanfaatkan kambing laktasi yang sudah tua sebagai penghasil susu dengan pemberian nutrisi yang cukup untuk memperpanjang masa laktasinya, sedangkan induk kambing yang masih muda digunakan untuk tujuan breeding,” ujarnya. 

Oleh karena itu, ternak ruminansia kecil terutama kambing perah, memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Namun peternak kecil perlu dukungan dengan diperkuat melalui kelembagaan sehingga mampu mengatasi keterbatasan penyediaan bibit hingga standar kualitas susu dan penentuan harga susu maupun ternak. 

”Perkembangan ini memerlukan dukungan yang kuat dan pendampingan dari pemerintah termasuk perguruan tinggi dan melembaga agar produktivitas meningkat dan dapat meyakinkan konsumen dengan standar kualitas yang benar," ujarnya.