Liputan6.com, Bandung - Istilah “pemakzulan” baru-baru ini ramai dibahas oleh publik khususnya oleh para warganet di media sosial. Diketahui istilah tersebut muncul usai adanya wacana melengserkan Presiden Jokowi.
Melansir dari Liputan6, Deputi Bidang Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md, Todung Mulya Lubis sempat menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo terkait presiden yang boleh berkampanye dan berpihak kepada pasangan capres dan cawapres tertentu.
Baca Juga
Menurutnya, penilaiannya pernyataan Presiden Jokowi tersebut sangat merisaukan dan dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap sifat-sifat netral yang melekat pada Presiden yang juga sebagai kepala negara.
Advertisement
“Ini saya mengutip Undang-Undang Dasar 1945, ‘sebagai presiden dan kepala negara, presiden harus berada di atas semua kelompok, di atas semua golongan, di atas semua suku, agama, dan partai politik’,” ucapnya dalam Konferensi Pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud pada Kamis (25/1/2024).
“Ketika seseorang dipilih sebagai presiden, maka kesetiaannya menjadi kesetiaan terhadap negara, terhadap rakyat, tanpa membeda-bedakan mereka. Ini saya kasih satu hal yang sangat prinsipil yah, yang harus dimiliki, karena itu melekat pada diri presiden dan kepala negara,” kata Todung menambahkan.
Bisa Menjadi Celah untuk Pemakzulan
Todung juga memberikan tanggapan terkait pernyataan Koordinator Stafsus Presiden Ari Dwipayana yang merujuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Ia mengaku paham pasal tersebut bahwa presiden bisa berkampanye namun sebagai petahana atau kembali maju dalam kontestasi pilpres.
“Nah dalam konteks ini Presiden Jokowi tidak bisa lagi ikut dalam kontestasi politik. Dia tidak running dalam for the second term ya, jadi tidak ada periode ketiga,” ucapnya.
Todung menyebutkan bahwa dalam konteks saat ini seharusnya Presiden menahan diri untuk berada di atas semua kontestan politik tersebut. Jika ikut berkampanye maka turut memihak dan berpotensi adanya conflict of interest.
“Nah dia seharusnya menahan diri untuk berada di atas semua kontestan politik ini. Kalau dia dalam konteks sekarang ini ikut kampanye, ikut memihak, potensi conflict of interest, potensi benturan kepentingan akan sangat telanjang dan kasat mata,” kata Todung.
Ia juga menegaskan bahwa apa yang dilakukan Presiden Jokowi tidak adil dan menurutnya tidak sejalan dengan semangat negara hukum yang menjamin tidak adanya diskriminasi. Menurutnya bisa memunculkan celah sebagai perbuatan tercela dan bisa menjadi alasan untuk pemakzulan.
“Kalau presiden tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka bisa saja hal ini ditafsirkan sebagai perbuatan tercela,” ujarnya.
“Dan kalau ini disimpulkan sebagai perbuatan tercela, maka ini bisa dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan,” sambungnya.
Advertisement
Lantas Apa itu Pemakzulan?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemakzulan berasal dari kata makzul yang berarti berhenti memegang jabatan, turun takhta. Sementara pemakzulan mempunyai arti proses, cara, perbuatan memakzulkan.
Singkatnya, pemakzulan berarti menurunkan dari takhta atau memberhentikan dari jabatan.
Sementara itu, melansir dari situs resmi Mahkamah Konstitusi RI, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa pemakzulan adalah bahasa serapan dari bahasa Arab yang berarti diturunkan dari jabatan.
Istilah tersebut juga sama dengan istilah “impeachment” dalam konstitusi negara-negara Barat. Impeachment adalah menuntut pertanggungjawaban dalam rangka pengawasan parlemen kepada Presiden apabila Presiden melanggar hukum.
Pemakzulan juga tidak bisa dilakukan begitu saja karena harus adanya pembuktian dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden atau Wakil Presiden dan dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
Jika Mahkamah Konstitusi menyatakan presiden dan wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, proses berikutnya berlangsung di Majelis Permusyawaratan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden atau Wapres.
“Kalau terbukti secara hukum, berarti ada alasan DPR untuk mengajukan permintaan tanggung jawab Presiden dan atau Wapres lewat forum MPR,” ucap Jimly.
Pemberhentian Presiden dalam UUD 1945
Sementara itu, istilah pemakzulan sendiri tidak tertulis dalam konstitusi UUD 1945. Namun dalam Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut presiden dan atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR.
Baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Kemudian lebih rincinya lagi tentang pemberhentian jabatan presiden dan atau wakil presiden juga tersedia dalam Pasal 7B UUD 1945.
Advertisement