Liputan6.com, Yogyakarta - Peneliti dari University College London (UCL) mendesak para pengusaha untuk menciptakan budaya 'ramah tidur' dengan meminimalkan waktu lembur dan mengizinkan pekerja untuk mendapat istirahat yang layak. Hasil riset UCL membuktikan orang yang bekerja dengan shift atau jam kerja yang tidak biasa memiliki kualitas dan kuantitas tidur yang jauh lebih buruk ketimbang mereka yang memiliki jadwal kerja reguler.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya pekerja dengan pola shift layar dibayar lebih dari standar yang ditetapkan.
Dikutip dari The Standard, para peneliti dari tiga universitas di Inggris menganalisis pola kerja dan tidur lebih dari 25.000 pria dan wanita antara tahun 2012 dan 2017. Penelitian ini menggunakan data yang diambil dari UK Household Longitudinal Study.
Advertisement
Baca Juga
Orang yang bekerja 55 jam seminggu atau lebih ditemukan mempunyai jam tidur yang paling buruk, termasuk tidur pendek (kurang dari tujuh jam semalam) dan gangguan tidur seperti terbangun di tengah malam atau dini hari.
Mereka yang bekerja hampir atau sepanjang akhir pekan dengan pola yang tidak standar seperti shift, mengalami gangguan tidur, baik tidur pendek maupun tidur panjang (lebih dari delapan jam semalam).
Dibandingkan dengan pekerja di hari kerja biasa, laki-laki lebih cenderung mengalami waktu tidur pendek jika mereka sering bekerja di akhir pekan, sedangkan perempuan lebih cenderung mengalami waktu tidur pendek jika mereka bekerja di akhir pekan.
Kurang tidur dikaitkan dengan penurunan kesehatan jangka panjang termasuk peningkatan risiko diabetes, obesitas, depresi, serangan jantung, dan stroke. Para ilmuwan Inggris mengatakan orang dewasa harus tidur antara tujuh dan sembilan jam setiap malam.
Penulis utama studi tersebut, Gillian Weston, di departemen Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat UCL, mengatakan, dampak dari kurang tidur lebih dari sekadar kelelahan.
Penelitian menunjukkan durasi tidur panjang dan pendek berhubungan dengan kesehatan yang buruk, sehingga menekankan peran penting tidur seimbang dalam kesejahteraan secara keseluruhan.
“Kurang tidur dan masalah tidur dikaitkan dengan masalah kesehatan mental dan kognitif, penyakit kronis, dan bahkan cedera akibat pekerjaan. Kerugian ekonomi akibat kurang tidur sangatlah mengejutkan, dengan kerugian produktivitas diperkirakan mencapai lebih dari £40 miliar per tahun di Inggris saja,” kata Gillian Weston.
Adapun, peserta dalam penelitian ini diberi serangkaian pertanyaan tentang pekerjaan, jam kerja, kesehatan dan tidur mereka. Para informan melihat apakah ada perbedaan gender dalam hubungan antara pola kerja yang tidak biasa dan jam tidur, mereka pun menemukan bahwa hubungan antara jam kerja yang panjang dan waktu tidur yang singkat lebih kuat pada perempuan.
“Perempuan yang bekerja di akhir pekan cenderung terkonsentrasi pada pekerjaan di sektor jasa dengan upah rendah, dengan kondisi kerja yang paling buruk, seperti otonomi kerja yang rendah dan kepuasan kerja. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa perempuan lebih cenderung mengalami kurang tidur jika mereka bekerja di akhir pekan,” ujar Weston.
Oleh sebab itu, para peneliti dari UCL, University of Southampton dan Queen Mary University of London, mendesak para pengusaha untuk menciptakan lingkungan kerja yang 'ramah tidur' dengan meminimalkan budaya lembur, memberikan waktu istirahat yang cukup dan mengizinkan pekerja untuk berhenti bekerja di luar jam kerja normal mereka.
Pengusaha juga harus mempertimbangkan untuk menyelaraskan jadwal dengan kronotipe pekerja, ritme sirkadian yang mengontrol tidur dan fungsi kognitif. Orang yang secara alami bangun pagi disebut “larks” sedangkan mereka yang begadang disebut “burung hantu”.
Mereka kemudian menyarankan, pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada karyawan yang bekerja overtime, melalui cuti tambahan yang dibayar atau imbalan finansial.
“Dengan mengakui dampak pola kerja temporal yang tidak biasa terhadap tidur dan mengambil tindakan proaktif, pengusaha dan pembuat kebijakan dapat berkontribusi terhadap angkatan kerja yang lebih sehat dan produktif. Bagaimanapun, tidur malam yang nyenyak adalah investasi bagi kesuksesan individu dan kolektif," kata Weston.
Penulis: Taufiq Syarifudin