Liputan6.com, Bandung - "Lex est ratio summa, insita in natura, quae jubet ea, quae facienda sunt, prohibetque contraria", hukum adalah akal sejati yang ditanamkan dalam alam, yang menyuruh melakukan apa yang harus dilakukan dan melarang yang bertentangan, -Cicero-.
Ironi demokrasi hari ini terkadang tak mengenal standar moral dan kualitas. Pemilu 2024 seolah mempertontonkan itu semua. Drama utak-atik Mahkamah Konstitusi yang meloloskan anak seorang presiden berkuasa yang kini menjadi calon wakil presiden, netralitas presiden yang dipertanyakan karena mendukung kandidat capres dan cawapres tertentu, dugaan penggunaan sejumlah instrumen negara untuk politik, dan pelanggaran lainnya yang seolah begitu telanjang dipertontonkan dalam wajah demokrasi kita saat ini.
Baca Juga
Kegelisahan itu yang kemudian menggerakkan para cendikiawan perguruan tinggi, sejumlah Guru Besar bergerak bersama menentang mulai bengkoknya negara.
Advertisement
Dimulai dari Forum Guru Besar dan seluruh civitas akademika Universitas Gajah Mada (UGM), Univesitas Islam Indonesia (UII), Univesitas Muhammadiyah Yogyakarta, diikuti Universitas Indonesia (UI), kemudian Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Andalas (Unand), hingga Universitas Hasanuddin (Unhas) bersuara lantang menyuarakan penyelamatan hukum dan demokrasi yang kian mendapat ancaman dari tangan-tangan jail kekuasaan.
Sejak Pemilu dilaksanakan secara langsung pada 2004, rakyat Indonesia sebagai pemegang mandat kedaulatan memang belum sepenuhnya siap berdemokrasi. Rakyat kita masih belum siap secara mental dan pikiran. Minimnya budaya berpikir rasional dan kritis karena banyak faktor membuat demokrasi kita memang tak pernah berangsur matang. Demokrasi seolah hanya dipahami secara prosedurial jauh dari nilai-nilai substansial.
Sebagian besar rakyat kita masih terpukau oleh hal-hal artifisial. Dunia digital kita dipenuhi oleh karya-karya artifisial, sosial media sehari-hari digempur oleh framing berupa potongan-potongan video yang parsial, kolom komentar dihiasi oleh klaim buzzer-buzzer pendukung yang mengaburkan dan membiaskan informasi, seolah tak ada celah untuk pandangan yang berbeda. Polusi informasi yang begitu pekat itu menghiasi alam demokrasi kita sekarang.
Pengaburan Substansi
Gen-Z dan milenial yang jadi pemilih besar pada 14 Februari 2024 nanti pada akhirnya gagal mengasah pikiran rasional dan objektifnya. Sebagai kelompok yang melek digital, algoritma informasi mereka diisi oleh tiupan sampah dari markas penguasa, buzzer-buzzer pendengung, influencer berbayar yang setiap hari memproduksi isu dan berita menyesatkan.
Mesin-mesin parasit politik ini tak henti-hentinya menggerogoti pilar-pilar demokrasi lini masa kita, menelan kebebasan individu, dan menghisap kebebasan berpendapat demi semata kepentingan kekuasaan. Mereka menghambur-hamburkan uang untuk mempertahankan kekuasaan.
Investasi jaringan lewat money politics, merekrut influencer dan buzzer sebagai alat produksi informasi masal dan serangkaian terror-teror politik. Mesin-mesin itu pula yang menurut pengamat politik Yasraf A Piliang mereduksi hakikat demokrasi lewat demokrasi yang sarat kepalsuan (virtual-democracy).
Rakyat seolah tak peka terhadap hal-hal substansial seperti ide, gagasan, kinerja, track record, kompetensi, kualitas diri dan faktor-faktor rasional lainnya yang objektif. Rakyat seperti lebih suka polesan artifisial dan ocehan selebritas politik yang memukau. Alam pikiran rakyat yang angin-anginan, selain yang kritis dan rasional, diperburuk oleh rezim pikiran elite yang oportunistik dan positivistik.
Elite lebih suka melakukan pilihan politik yang menguntungkan kepentingan mereka, demi kekuasaan dan konsesi pribadi. Upaya menerobos benteng konstitusi berkumpul mendukung 3 periode kepresidenan, hingga melakukan segala cara untuk mengutak-atik aturan di Mahkamah Konstitusi yang dikemudian hari terbukti berujung pelanggaran etika berat oleh salah satu hakim Mahkamah Konstitusi yang adalah kolega presiden.
Gegap gempita Pemilu 2024 sebenarnya tak memunculkan watak perpolitikan yang wajar. Electoral Reform yang dibayangkan akan menghasilkan perubahan dan terobosan penting terjebak dalam struktur oligarki selayaknya yang diungkapkan peneliti BRIN, Syamsuddin Haris.
Hal yang sama disampaikan pengamat politik, Kuskrido Ambardi, bahwa demokrasi kita belakangan lebih banyak dibajak elite, oligarki, dan partai politik yang menjadi pilar demokrasi berwatak kartel. Hal ini tampak dalam komposisi koalisi di masing-masing kandidat capres-cawapres yang di belakang layar kuasa modal, sumber daya, dan jaringan.
Advertisement
Pergerakan Kaum Intelektual
Di tengah kondisi darurat ini, maka peran kaum intelektual harus sangat terdengar. Kita patut mempertanyakan kembali suasana batin kebangsaan kita saat ini. Kita tak bisa membiarkan konstitusi dan aturan ditabrak begitu saja demi kepentingan segelintir orang dan kelompok. Kita tak bisa juga membiarkan penguasa bertindak ugal-ugalan demi mempertahankan kekuasaan yang nyaman.
Praktik mengutak-atik konstitusi untuk kepentingan politik sempit semakin merusak pondasi demokrasi di Indonesia. Konstitusi, yang seharusnya menjadi landasan kuat bagi negara dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, terus diubah demi kepentingan politik yang bersifat temporer. Manipulasi lewat corong-corong media seringkali dipertegas dengan alasan-alasan yang terkesan rasional, namun pada hakikatnya, hanya melayani kepentingan elite politik yang sedang berkuasa.
Turun gunungnya para civitas akademika di berbagai perguruan tinggi menunjukkan negara tidak baik-baik saja. Kaum intelektual, dalam esensinya, adalah garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai demokrasi dan mempertahankan keadilan sosial. Dengan pengetahuan, kecerdasan, dan ketajaman pandangan mereka, para intelektual memiliki peran yang krusial dalam mengkritisi kekuasaan yang mungkin cenderung otoriter dan memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi terus diperjuangkan.
Kaum intelektual perlu turun menyoroti pentingnya kritik terhadap struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat sebagaimana nalar teori kritis seperti seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse. Para intelektual memiliki tanggung jawab moral untuk mengidentifikasi dan mengekspos ketidakadilan serta penindasan yang mungkin terjadi di bawah sistem politik manapun.
Publik perlu curiga bahwa kekuasaan dapat bersembunyi di balik pengetahuan. Sebagaimana pendapat Michel Foucault yang menilai intelektual memiliki peran penting dalam mengungkapkan dan memeriksa struktur kekuasaan yang mendasarinya. Dengan menganalisis dinamika kekuasaan, intelektual membantu masyarakat memahami bagaimana kekuasaan bekerja dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi nilai-nilai demokratis.
Namun, peran intelektual tidak hanya terbatas menjadi pengritik kekuasaan. Mereka juga bertanggung jawab untuk membangun alternatif dan solusi yang mempromosikan keadilan dan persamaan. Pemikir India, Amartya Sen melalui gagasannya tentang pembangunan sebagai kebebasan, menyoroti pentingnya partisipasi aktif intelektual dalam merancang kebijakan publik yang inklusif dan progresif. Intelektual perlu menjadi agen perubahan yang memperjuangkan demokrasi substansial dan mengupayakan masyarakat yang lebih adil.
Dukungan Warga Wujudkan Demokrasi
Dalam era di mana otoritarianisme dan manipulasi kekuasaan semakin merajalela, peran intelektual dalam mengkritisi kekuasaan dan menjaga nilai-nilai demokrasi menjadi semakin mendesak. Melalui analisis kritis, konstruksi alternatif, dan advokasi publik, intelektual dapat memainkan peran yang signifikan dalam membentuk arah politik dan sosial yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tanggung jawab mereka sebagai intelektual, tetapi juga sebagai warga yang peduli akan masa depan demokrasi.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa kerusakan demokrasi yang disebabkan oleh pengaruh kartel kekuasaan, oligarki, dan politisi lewat upaya manipulasi berbagai hal bukanlah masalah sepele. Ini adalah ancaman serius bagi fondasi negara hukum demi keberlanjutan demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.
Diperlukan upaya bersama dari seluruh lapisan masyarakat untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya, mengawasi kekuasaan oligarki, dan memperkuat institusi-institusi demokratis. Hanya dengan melakukan itu, kita dapat bergerak menuju visi demokrasi yang inklusif, transparan, dan melayani kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Â
Penulis: Nugroho Adinegoro, Direktur Eksekutif Padjadjaran Inisiatif
Advertisement