Liputan6.com, Jakarta - Seperempat penduduk Indonesia saat ini adalah generasi muda. Pada Pemilu 2024, kelompok usia ini akan mendominasi jumlah pemilih secara nasional. Porsinya mencapai 56%, atau sekitar 114 juta. Separuh dari mereka akan menjadi pemilih pemula.
Besarnya potensi pemilih dari generasi muda ini mendorong para kandidat calon presiden dan wakil presiden menempatkan berbagai isu yang menjadi tren untuk meningkatkan elektabilitas mereka dalam meraih suara. Salah satunya isu lingkungan.
Baca Juga
Dari survei yang dilakukan pilahpilih.id terhadap 1,035 anak muda dari 36 provinsi, mayoritas anak muda (98 persen) akan mempertimbangkan isu lingkungan saat memilih calon pemimpin pada tanggal 14 Februari mendatang.
Advertisement
Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden memiliki program lingkungan yang dituangkan dalam visi-misi mereka.
Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar memiliki delapan misi tentang lingkungan. Selain akan menerapkan tata kelola lingkungan, mereka mengedepankan penggunaan energi baru terbarukan serta memperkenalkan konsep Taubat Ekologi.
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan melakukan swasembada energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Tujuannya menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia (superpower) dalam bidang energi baru terbarukan dan energi berbasis bahan baku nabati (bioenergy).
Sementara Ganjar Pranowo dan Mahfud MD mengusung tiga misi gerak cepat terkait lingkungan hidup, energi baru terbarukan serta keadilan ekologis. Pasangan ini pun menggaungkan program di akar rumput seperti Kampung Sadar Iklim dan desa mandiri dengan energi baru terbarukan serta ekonomi biru yang berkelanjutan.
Dari jajak pendapat yang dilakukan pilahpilih.id kepada 1,035 anak muda dari 36 provinsi mengungkapkan persoalan lingkungan yang menjadi perhatian anak muda. Mulai dari sampah plastik, krisis iklim, pencemaran udara, transisi energi, konservasi air, sampai deforestasi. Persoalan ini coba saya cari solusinya saat menghadiri Festival Pemilu pada Minggu (29/1) lalu.
Dalam acara ini, masing-masing kandidat capres dan cawapres mengirimkan juru bicaranya untuk berdialog langsung pada para pemilih muda. Namun saya belum mendapat jawaban yang memadai dari problem-problem tadi.
Semua jawaban masih belum menjawab akar permasalahan dan cenderung masih berada di tataran permukaan. Memang target transisi energi sudah disinggung. Akan tetapi pemaparan para jubir belum menjawab isu demokratisasi energi, terutama aspek partisipasi publik dalam kebijakan terkait lingkungan dan akses energi baru terbarukan.
Selama ini, inisiatif publik dalam melakukan transisi energi justru terbentur oleh silang sengkarut regulasi dari pemerintah sendiri. Salah satunya, kebijakan PLN yang masih membatasi pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sebesar 15% dari total kapasitas listrik yang terpasang.
Padahal Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 yang berlaku saat ini memperbolehkan konsumen untuk memasang kapasitas paling tinggi 100% dari daya tersambung.
Alam adalah kesatuan utuh, menyeluruh, dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan. Ketika salah satu komponennya terganggu, alam akan menemukan caranya sendiri untuk menemukan keseimbangan, termasuk lewat terjangan banjir.
Pada 2021 saya menjadi saksi bagaimana ketamakan aktivitas tambang di Barabai, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan membuat banjir merendam wilayah yang sebelumnya tidak pernah terendam air bah.
Dengan mata kepala sendiri saya melihat bayi-bayi menangis kelaparan, istri kebingungan mencari suaminya, dan anak terpisah dengan orang tuanya. Juga putus asanya manusia ketika perut lapar membuat tidak segan saling sikut dengan sesamanya. Inikah wajah bumi yang akan kami teruskan ke anak cucu kami kelak?
Saat ini saya bersama 1,8 miliar anak muda lainnya di seluruh penjuru bumi mewarisi kesalahan generasi sebelumnya yang gagal menjaga keberlangsungan kehidupan di planet ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. Krisis lingkungan menjadi kenyataan yang harus kami hadapi di bumi yang usianya semakin renta.
Momentum Pemilu 2024 adalah harapan bagi kami untuk memperbaiki masa depan lingkungan yang kami pijak tanahnya, kami minum airnya, dan kami hirup udaranya. Banjir Barabai akhirnya mampu membuka pandangan saya bahwasanya persoalan lingkungan tidak bisa lepas dari perkara politik. Dibalik alibi faktor cuaca sebagai penyebab bencana, ada kebijakan-kebijakan terkait tata kelola lahan yang patut dipertanyakan.
Saya merasa khawatir apabila generasi muda yang kelak akan menjadi calon-calon pemimpin nantinya hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi saja sebagai landasan dalam menentukan kebijakan. Ketika pertumbuhan ekonomi diprioritaskan dan mengesampingkan keadilan secara sosial kemasyarakatan dan kondisi keberlangsungan lingkungan hidup , maka akan terus terjadi kerusakan, ketimpangan, dan ketidakadilan secara ekonomi, sosial, dan ekologis
Sebelum keadilan ini diwujudkan, akan sulit bagi kita untuk melakukan langkah-langkah penanganan krisis iklim. Termasuk isu transisi energi yang digaungkan oleh ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ini. Saya melihat, ketiga pasangan belum memberikan jaminan mitigasi dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat yang terdampak dalam proses transisi energi.
Utamanya dalam pemanfaatan potensi energi panas bumi yang sama-sama disinggung oleh ketiganya. Masih terlihat dominasi kepentingan ekonomi yang dikhawatirkan justru bertolak belakang dengan konsep demokratisasi energi yang seharusnya memprioritaskan kebutuhan dan partisipasi masyarakat.
Saya percaya pendidikan dan ilmu pengetahuan menjadi pintu-pintu yang membuka peluang kita untuk bersama-sama merintis pemecahan persoalan lingkungan ini dalam lingkup kolaborasi masif. Kami tidak ingin mengulang kesalahan yang sama dengan generasi sebelumnya. Keberlanjutan kehidupan di planet ini adalah yang ingin kami wariskan kepada generasi selanjutnya, bukan setumpuk persoalan-persoalan lingkungan.
Keterlibatan saya di My Green Leaders merupakan ikhtiar untuk mengarusutamakan isu lingkungan kepada generasi muda. Juga sekaligus mendorong mereka sebagai kekuatan baru yang dipertimbangkan dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan politik agar lebih berperspektif lingkungan. Salah satu yang
kami lakukan adalah menerbitkan buku berjudul “Menjadi Pemimpin Pembela Lingkungan” yang memaparkan gagasan-gagasan anak muda mengenai lingkungan. Kami juga menggagas Pawai Budaya Pelajar untuk Iklim pada Agustus tahun lalu di Medan, Sumatera Utara sebagai desakan kepada pemerintah untuk memperhatikan masalah iklim yang menjadi tanggung jawab bersama dan ajakan bagi rekan pelajar lainnya turut aktif dalam menyuarakan persoalan lingkungan secara lebih gamblang.
Bersama Bengkel Hijrah Iklim, sebuah program dari aksi Kolaborasi Umat Islam untuk Dampak Iklim (MOSAIC), kami berhasil menggelar pertemuan di 100 titik di berbagai daerah yang melibatkan lebih dari 2.000 pelajar. Dari pertemuan-pertemuan tersebut, kami mengajak kaum muda untuk melihat problem kerusakan lingkungan sebagai problem sistemik yang terkait dengan kebijakan-kebijakan politik.
Teman-teman pelajar sebagai pemilih muda dan pemilih pemula di Pemilu 2024 kami ajak untuk memilah dan memilih pemimpin yang pro-iklim. Kami ingin anak muda dilihat bukan semata obyek suara di hajatan lima tahunan. Namun menjadi subjek suara yang memiliki peran signifikan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat, bukan hanya segelintir golongan. Saya berharap inisiatif-inisiatif ini juga menjadi jalan mewujudkan demokratisasi energi agar generasi muda memiliki posisi penting dalam akses pengelolaan energi baru terbarukan.
Sebelum kita berangkat menuju bilik suara, saya mengajak teman-teman sesama generasi muda untuk mencermati visi dan misi setiap calon. Rekam jejak setiap calon termasuk partai-partai pengusungnya harus dipertimbangkan untuk menguji komitmen mereka terhadap upaya perbaikan lingkungan dan transisi energi yang berkeadilan. Kita harus konsisten menagih sekaligus mengawal janji lingkungan dan transisi energi kepada siapapun yang akhirnya terpilih memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Karena kita sesungguhnya tengah merintis harapan keberlanjutan kehidupan di bumi yang lebih baik.
(Kholida Annisa adalah inisiator My Green Leaders, gerakan orang muda untuk mengawal isu lingkungan di ranah demokrasi. Pada satu tahun berjalannya My Green Leaders, setidaknya ada 6.719 orang muda yang terlibat dalam berbagai aksi diantaranya melalui pelatihan, diskusi, jajak pendapat, kampanye, dan aksi bersama secara langsung)