Liputan6.com, Yogyakarta - Setelah mencoblos dalam Pemilu 2024, setiap orang wajib mencelupkan jarinya ke dalam tinta sebagai penanda bahwa orang tersebut telah menggunakan hak pilihnya.
Lantas, bagaimana hukum salat jika jari ada tinta pemilu? Mengutip dari NU Online, hal pertama yang harus diperhatikan adalah kesucian pakaian, badan, dan tempat salat. Itu merupakan syarat sah salat, sehingga jika ada benda najis harus segera disucikan dulu.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tinta pemilu najis? Tentunya ini perlu dilihat dari kandungannya apakah terdapat hal yang membuat tinta tersebut najis atau tidak.
Advertisement
Jika setelah diuji laboratorium menyatakan bahwa tinta pemilu mengandung najis, maka kita diharuskan untuk menyucikannya semampu kita dengan menggunakan sabun, batu, atau zat pembersih lainnya. Jika warna tinta pemilu itu masih membekas di jari kita setelah dicuci, maka status jari kita yang terkena tinta pemilu adalah suci.
Baca Juga
“(Jika najis itu tersisa di pakaian, badan,) atau sejenisnya, (setelah dibasuh, maka hukumilah kesuciannya) karena sulit. Sedangkan tindakan menggosok dan mengorek bersifat sunah belaka, tetapi ada yang mengatakan bahwa keduanya syarat. Jika penghilangan najis bergantung pada potas [kalium karbonat atau garam abu] dan sejenisnya (seperti sabun, bensin, atau cairan tajam yang lain), maka wajib sebagaimana diyakini oleh Al-Qadhi dan Al-Mutawalli, serta dikutip oleh An-Nawawi dalam Al-Majemuk dan diyakininya di Tahqiq dan disahihkan olehnya di Tanqih,” (Lihat Syekh Syihabuddin Ar-Ramli, Fathul Jawad bi Syarhi Manzhumati Ibnil Imad, [Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: tanpa catatan tahun], halaman 64-65).
Dalam hal ini, tidak masalah jika warna najis yang tersisa di pakaian atau tubuh masih tersisa setelah dilakukan pembersihan sebisanya.
Sisa najis berupa warna yang idealnya harus dibersihkan secara tuntas dimaafkan karena sulit menghilangkannya sekaligus atau uzur. Namun dapat dibilang jika tinta pemilu hukumnya tidak najis dan tidak menghalangi air wudhu sampai ke kulit meski menyisakan warnanya saja.
Namun alangkah lebih baik tinta pemilu yang masih ada di jari tangan dibersihkan sebelum wudhu sebersih-bersihnya sebagai kehati-hatian dalam beribadah.
Adapun kasus tinta Pemilu ini serupa dengan masalah sisa noda darah haid yang membekas di pakaian. Hal ini sempat diulas Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Kitab Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram.
Keduanya mengatakan bahwa sisa noda darah haid pada pakaian yang telah dicuci ditoleransi secara syariat.
"Bekas warna (najis) yang tersisa pada pakaian dimaafkan setelah pakaian dicuci secara serius dengan dalil hadits selanjutnya yang berbunyi, 'Bekasnya tidak masalah bagimu'," (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 54).
Ulama Mazhab Syafi’i memberikan catatan kriteria "sulit" dalam konteks penyucian najis dengan praktik pengorekan benda tersebut sebanyak tiga kali. Itu kemudian disertai dengan penyucian pendahuluan dengan alat pembersih semacam sabun atau pembersih lainnya.
Dalam kata lain, penyucian benda yang terkena najis meski masih menyisakan warna adalah ikhtiar atau upaya yang sudah memadai, atau tidak menjadi masalah karena sudah berusaha menghilangkannya.
"Kriteria sulit itu adalah tindakan mengorek sesuatu sebanyak tiga kali disertai dengan bantuan pendahuluan [seperti sabun atau pembersih lainnya]. Bila suatu benda dicelup dengan pewarna yang mengandung najis, lalu benda yang dicelup dengan pewarna tersebut dicuci hingga bersih basuhannya dan yang tersisa hanya warnanya, maka benda itu dihukumi suci," (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 46).
Penulis: Taufiq Syarifudin