Liputan6.com, Padang - Film dokumenter berjudul Eksil karya sutradara Lola Amaria tayang di Padang pada Minggu (18/2/2024). Film ini ditonton 101 orang di Bioskop CGV Kota Padang, Sumatera Barat.
Film eksil diketahui tidak tayang di seluruh bioskop di Indonesia, namun bisa diputar secara mandiri dan kolektif oleh komunitas atau kelompok di kota masing-masing.
Begitu juga di Padang, film bergenre dokumenter ini diselenggarakan oleh Yayasan Roehana Independen Indonesia atau Roehana Project. Pemesanan tiket yang dibuka sejak 12 Februari 2024, ludes pada 16 Februari 2024.
Advertisement
Berdurasi sekitar 1 jam 58 menit, film ini dimulai dengan musik seruling lalu membawa penonton menyaksikan footage alam Indonesia, juga footage alam benua Eropa dan negara lain tempat tinggal para Eksil disusul dengan berbagai dokumen dan wawancara.
Salah seorang penonton, Aidil Ichlas mengatakan film eksil mengajarkan pelajaran sejarah bagi masyarakat tentang hal-hal yang selama ini jarang diketahui publik, bahwa ada orang Indonesia yang tidak bisa pulang ke negara mereka.
"Mereka adalah korban masa lalu sejarah masa lalu dan politik masa lalu. Semoga tidak terjadi lagi di masa sekarang dan masa depan," ujar Aidil.
Menurutnya ini juga menjadi catatan bagi publik dan pemerintah ketika terjadi kondisi politik yang mungkin saja memanas, jangan sampai menyeret kebebasan seseorang mencintai Indonesia.
Dikutip dari Situs Lembaga Sensor Film RI, dokumenter panjang ini mengangkat sejarah kelam bangsa Indonesia pasca meletusnya peristiwa politik pada 1965, yang dikenal sebagai Gerakan 30 September.
Selain terjadi pembunuhan massal, dan penangkapan serta pemenjaraan terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia, di luar negeri juga penderitaan dialami para pelajar dań mahasiswa yang tengah belajar dan mendapat beasiswa ke luar negeri, dari pemerintahan di bawah Presiden Soekarno.
Lebih dari 30 tahun para eksil itu terjebak di luar negeri dan tidak bisa pulang ke tanah air. Suatu pengalaman pahit yang berkepanjangan. Selain kehilangan status kewarganegaraan, kehilangan sanak keluarga dan kerabat di Indonesia, mereka juga harus bekerja serabutan bahkan di luar keahlian dan latar keilmuannya.
Mereka berjuang untuk hidup dengan berpindah-pindah negara : China, Uni Soviet, Belanda, Cheko-Slovakia, Jerman, dan Swedia.
Selama pembuatan film yang dimulai sejak 2015, beberapa tokoh dalam dokumenter ini ada yang sudah meninggal atau sakit karena usia lanjut.
Film dokumenter ini diperuntukkan bagi generasi muda Indonesia agar tidak kehilangan jejak sejarah bangsanya. Lembaga Sensor Film (LSF) mengklasifikasikan film ini untuk penonton usia 13 tahun ke atas.
Â
Ada Tayang Kedua di Padang?
Ketua Yayasan Roehana Independen Indonesia, Jaka HB mengatakan pemutaran film ini di Padang berawal ketika film dokumenter ini tayang pada awal Februari lalu di beberapa bioskop. Namun ternyata tidak semua kota yang membuka layar.
"Lantas saya dan beberapa kawan dari Roehana Project berinisiatif untuk menginisiasi pemutaran ini. Kami komunikasi dengan Palembang Movie Club karena mereka pertama sekali yang menyelenggarakan dan kemudian kami melihat postingan Mbak Lola untuk permintaan layar di kota lain," jelasnya, Minggu (18/2/2024).
Lalu pihaknya menghubungi kontak yang ada, komunikasi dengan CGV Raya Padang dan akhirnya Senin tanggal 12 Februari kami buka Pre Sale tiket.
"Sebanyak 101 tiket habis terjual pada Jumat. Jumat itu pun tinggal 4 tiket. Kami menjualnya melalui instagram dan hingga selesai pemutaran dan hari ini masih ada yang bertanya apakah ada pemutaran kembali," ujarnya.
Roehana Project berencana akan membantu pemutarannya lagi. Jikapun tidak, lanjut Jaka, mungkin itu bisa jadi penyemangat komunitas lain untuk turut memutarkannya lagi.
"Kami pikir film ini penting untuk ada pemutaran film ini di banyak layar, sebab perlawanan kita akan pelupaan sejarah hari ini sangat kuat. Belum lagi informasi yang membanjiri sosial media di internet," katanya.
Hal ini juga sejalan dengan dasar berdirinya roehana project sebagai media public interest bahwa wacana-wacana di ruang publik itu berperang untuk muncul ke permukaan. Dan faktanya hidup ini tidak adil, dan itu tercermin dari narasi-narasi besar yang muncul di media pada umumnya tanpa menyentuh kehidupan warga negaranya secara nyata.
"Banyak suara yang tidak tersuarakan, film ini salah satu upaya mengangkat suara-suara itu, voice the voiceless," sebut Jaka.
Ia berharap dengan banyaknya yang menonton dokumenter yang sama sekali tidak membosankan ini, punya bahan cerita untuk teman, kekasih, anak, cucu, keluarga kita bahwa ada sejarah-sejarah yang terkubur oleh sejarah lain dan diikuti kepentingan politik praktis yang sering mengabaikan nasib rakyatnya.
"Selain itu film eksil juga menjadi pengingat bahwa nyaris semua hal dalam hidup kita serahkan pada negara, tapi pengelola negara sering ugal-ugalan dalam mengurusi hal yang kita serahkan itu, seperti pajak, ekonomi, hak-hak asasi kita untuk bisa menjalani hidup dengan tenang sebagai warga negara. Sebab itu sejarah tak boleh kita ulangi dan lupakan," ia menambahkan.
Â
Advertisement