Sukses

Cerita Diskriminasi Para Indis usai Revolusi

Keluarga keturunan Belanda Indonesia saat masa pasca revolusi kemerdekaan Indonesia memiliki cerita pahit karena diskriminasi. Tidak hanya saat di Indonesia tapi juga saat kembali ke Belanda. Seperti apa ceritanya ya?

Liputan6.com, Yogyakarta - Era transisi pasca-Revolusi Kemerdekaan Indonesia bagi kelompok-kelompok non-Indonesia asli atau yang dianggap bukan berdarah murni Indonesia mendapatkan banyak diskriminasi. Peneliti Indo-Belanda Tedy Harnawan menjelaskan perkawinan orang belanda dengan warga lokal memunculkan kebudayaan baru yang disebut kebudayaan indis. 

“Mereka ini pada masa kolonial memiliki distingsi dalam struktur masyarakat kolonial. Dianggap orang Belanda tapi memiliki darah bumiputera, dianggap orang Belanda tapi merupakan gelijkgestelden (status penyetaraan warga negara) Belanda. Jane dan keluarganya adalah salah satu dari komunitas indis tersebut,” katanya dalam diskusi sejarah yang dilaksanakan oleh Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM bersama dengan Komunitas Malam Museum dan See Jane Run Team di Ruang Sidang 1 Gedung Poerbatjaraka FIB UGM belum lama ini.

Salah satu saksi mata Jane Vogel Mantiri (71) lahir di Jakarta, warga negara Amerika Serikat berdarah Indonesia-Belanda dari kedua orang tuanya mengalami diskriminasi saat era transisi pasca-Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Meningkatnya sentimen anti-Belanda saat itu mengakibatkan orang yang memiliki status kewarganegaraan Belanda atau yang mendapat penyetaraan dan tidak mengonversi menjadi WNI harus hengkang dari bumi Indonesia, termasuk keluarga Robert Cornelis, ayah Jane.

Diskriminasi pun tidak berhenti sesampainya di Belanda, Jane menceritakan kepulangannya ke Belanda tidak diterima dengan baik. Ayahnya dianggap bukan keturunan asli warga Belanda, karena lahir di Nganjuk dan ibunya kelahiran Bandung berdarah Manado. Jane mengaku ia diperlakukan berbeda daripada anak-anak Belanda lain. 

“Kehidupan yang serba terbatas itu, menyebabkan ayah saya memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat,” kata Jane saat menceritakan pengalamannya.

Sesampainya di Amerika Serikat, diskriminasi tidak berhenti, karena Jane dianggap terlalu coklat bagi sebagai warga negara Amerika dan tidak lantas mendapatkan status kewarganegaraan dari Pemerintah Amerika Serikat. Selain sulit mendapat status kewarganegaraan, Jane dan keluarganya masih diliputi perasaan traumatis latar belakang keluarganya saat masa Revolusi di Indonesia, karena hampir seluruh anggota keluarganya menjadi tahanan perang di masa Penjajahan Jepang. 

“Pada November 1945 tante saya juga menjadi korban pembunuhan pada saat perjalanan pulang ke Surabaya oleh kelompok kecil gerilyawan yang bertindak secara eksesif di luar kendali,” katanya.

Dosen Departemen Sejarah FIB UGM,  Wildan Sena Utama, mengatakan pengalaman keluarga Jane pasca-masa revolusi kemerdekaan memberikan sudut pandang baru bagi perlakuan diskriminasi dari warga Indo-belanda. 

“Kita harus melihat masa Revolusi dari dua sisi, tidak hanya dari sisi Indonesia saja tapi dari sudut pandang yang lain. Sehingga memberi pengetahuan yang berarti bagi generasi sekarang dan yang akan datang,” ujarnya.

 

Simak Video Pilihan Ini: