Sukses

Mantan Napi Tipikor Jadi Saksi Sidang Bukit Asam, Pengacara: Pernyataan Menyesatkan

Pengacara terdakwa sidang Bukit Asam menyebut saksi adalah mantan napi tipikor yang membuat pernyataan menyesatkan di PN Palembang.

Liputan6.com, Palembang - Berbeda dari sebelumnya, sidang dugaan korupsi akuisisi anak perusahaan PT Bukit Asam yang menyeret PT Satria Bahana Sarana (PT SBS) yang digelar Jumat (1/3/2024) semakin kompleks.

Ada dua saksi yang dihadirkan, yakni ahli audit akuisisi perusahaan Erwinta Marius dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri (PN) Palembang, yang pernah dihadirkan dalam sidang sebelumnya, Kamis (29/2/2024).

Saksi lainnya adalah Ahli Hukum Keuangan Publik dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Dian Puki Nugraha Simatupang, yang dihadirkan dari para terdakwa.

Sidang yang bergulir ke sekian kalinya di PN Palembang tersebut, membahas tentang dugaan kasus korupsi akuisisi kontraktor tambang batu bara PT SBS oleh anak perusahaan PT Bukit Asam Tbk, yaitu PT Bukit Multi Investama (BMI).

Erwinta menyampaikan, ini adalah kali pertama ia melakukan audit dalam perkara terkait dengan akuisisi. Dia pun ditanya apakah saat melakukan konfirmasi dan mengambil data dari pihak yang diaudit, untuk memenuhi asas asersi yang diwajibkan dalam ketentuan audit investigasi.

“Saya hanya mendapatkan data dari penyidik dan itu berdasarkan ‘keyakinan’ saya saja,” ucapnya.

Saat di persidangan, Erwinta ditegur Majelis Hakim PN Palembang karena tidak konsisten dalam memberikan jawaban.

Seperti dalam memberikan pendapat, Erwinta mengatakan apabila perusahaan yang berekuitas negatif itu, merupakan perusahaan BUMN juga, maka hal itu bukan merupakan kerugian negara. Sementara, jika perusahaan yang diakusisi itu adalah perusahaan swasta, maka dia berasumsi itu adalah kerugian negara.

Ainuddin, penasihat hukum dari pemilik lama PT SBS Tjahyono menyebut, sebagai mantan narapidana tindak pidana korupsi (tipikor), pernyataan Erwinta disebut sebagai asumsi belaka dan tidak didukung ketentuan hukum yang berlaku.

“Pernyataan Erwinta sangat menyesatkan dan mengada-ada. Bagaimana mungkin ahli dalam memberikan pendapat hanya berdasarkan ‘keyakinan; dalam melakukan pemeriksaan kerugian negara,” ujarnya.

Dia juga menyindir kalimat saksi yang menggunakan ‘standar ganda’ dalam memberikan pendapat, mengenai penyertaan modal pada perusahaan dengan ekuitas negatif bisa merugikan keuangan negara dan bisa juga tidak.

Di sisi lain, Ainuddin merasa sangat puas dengan keterangan ahli Dian Puji Nugraha Simatupang. Dirinya sudah merasa keterangan ahli yang dihadirkan para terdakwa sangat jelas.

“Sampai saat ini saya masih bingung, mengapa klien saya dijadikan terdakwa oleh JPU. Kan tadi juga sudah jelas, kalau klien saya adalah pihak swasta murni. Coba baca lagi SEMA 10 tahun 2020,” ucapnya.

Saksi kedua Dian Puji Nugraha Simatupang yang dihadirkan oleh para terdakwa menerangkan, jika anak perusahaan BUMN harus tunduk kepada Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) karena bentuknya Perseroan Terbatas.

Secara mudah dijelaskan, jika tidak ada kata persero di belakang nama perusahaan berarti bukan perusahaan negara.

 

2 dari 2 halaman

Surat Edaran Mahkamah Agung

Dia berujar, ada perbedaan penafsiran terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan BUMN dan anak perusahaannya. Untuk itu harus diperhatikan adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 tahun 2020.

“Sepanjang anak perusahaan BUMN tidak menerima fasilitas negara dalam bentuk penugasan dari negara, maka kerugian perusahaan tersebut bukan merupakan kerugian negara,” ujarnya.

Dilanjutkannya, uang negara terhadap BUMN sudah dipisahkan dalam bentuk saham. Di mana, teori ‘aliran’ sudah tidak relevan terhadap BUMN, yang kemudian dicontohkan oleh ahli.

“Seperti contoh. Saya itu PNS, gaji saya dari APBN, namun ketika gaji saya dicuri orang apa saya kemudian melapor KPK?,” katanya.

Adanya penyimpangan anak perusahaan BUMN yang merupakan perseroan terbatas, maka anak perusahaan BUMN dapat menyelesaikan perkara penyimpangan tersebut berdasarkan aturan yang berlaku. Yakni Pasal 138 UU Perseroan Terbatas dan bukan melalui mekanisme UU Tipikor.

Kasus dugaan korupsi ini menjerat lima terdakwa, yakni Direktur Utama PTBA periode 2011-2016 Milawarma, mantan Direktur Pengembangan Usaha PTBA Anung Dri Prasetya dan Ketua Tim Akuisisi Penambangan PTBA Syaiful Islam.

Lalu, Analis Bisnis Madya PTBA periode 2012-2016 yang merupakan Wakil Ketua Tim Akuisisi Jasa Pertambangan Nurtimah Tobing dan pemilik lama PT SBS Tjahyono Imawan, yang diduga merugikan negara (BUMN) sebesar Rp162 miliar dalam akusisi tersebut.