Sukses

'Malamang', Tradisi Masyarakat Minangkabau Sambut Ramadan

Tradisi malamang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam dan diwarisi secara turun temurun sampai sekarang.

Liputan6.com, Padang - Malamang atau memasak lemang adalah salah satu tradisi sebagian masyarakat Sumatera Barat ketika Ramadan tiba. Biasanya, malamang dilakukan satu minggu hingga tiga hari menjelang Ramadan.

Beberapa daerah yang biasanya punya tradisi malamang jelang Ramadan, seperti Padang Pariaman, Pariaman, Padang, Agam dan sejumlah daerah lain.

Salah seorang warga Padang Pariaman, Yanti (40) menyampaikan saat menjelang Ramadan 1445 Hijriah ini, ia dan keluarga akan malamang tiga hari jelang Ramadan.

"Iya belum, tapi nanti rencana beberapa hari lagi," ujarnya, Rabu (6/3/2024).

Menurutnya, memasak lemang di Minangkabau memiliki makna tersendiri, yakni menjalin silaturahmi dengan keluarga dan kerabat.

Sebab, kata Yanti, lemang yang sudah masak nantinya akan diantar ke rumah orangtua, mertua, dan saudara-saudara lainnya.

"Iya tradisinya di sini seperti itu, karena memang itu tujuannya kita masak," sebutnya.

Tradisi malamang tak hanya menjelang Ramadan, tetapi juga ketika maulid nabi. Kemudian juga saat menjelang Idul Fitri.

Saat ini, lemang tak hanya memiliki rasa original yakni beras ketan dan santan, juga terdapat beberapa varian lain yakni rasa pisang, lamang galamai yang terbuat dari tepung beras.

 

 
2 dari 2 halaman

Asal Mula 'Malamang'

Banyak tetua bilang, tradisi malamang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam dan diwarisi secara turun temurun sampai sekarang.

Menurut Tambo atau kisah yang meriwayatkan tentang asal usul dan kejadian masa lalu di Minangkabau, tradisi malamang bermula saat Syekh Burhanuddin rajin berkunjung ke rumah-rumah penduduk untuk bersilaturrahmi dan menyiarkan agama Islam.

Kemudian beliau sering disuguhi makanan. Namun, Syekh Burhanuddin menyarankan kepada setiap masyarakat yang dikunjunginya agar mencari bambu, lalu memberikan alas daun pisang muda.

Kemudian beras ketan putih dan santan lalu dimasukkan ke dalamnya, lalu dipanggang di atas tungku kayu bakar.

Syekh Burhanuddin menyarankan kepada setiap masyarakat agar menyajikan makanan lamang ini menjadi simbol makanan yang dihidangkan dalam silaturahmi.

 

 

 
Video Terkini