Liputan6.com, Palembang - Dalam sidang dugaan korupsi yang melibatkan anak perusahaan PT Bukit Asam Tbk, yakni PT Bukit Multi Investama (BMI) yang mengakuisisi PT Satria Bahana Sarana (PT SBS), dihadirkan tiga saksi terbaru.
Tiga saksi yang yakni Irmansyah, ahli akuntansi yang juga mantan BPKP, ahli perdata kontrak bisnis Prof Djumardin dan ahli korporasi Prof Abdul Halim Barkatullah.
Para saksi dihadirkan penasihat hukum R. Tjahyono Imawan, yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Palembang Sumsel, Jumat (8/3/2024).
Advertisement
Saksi Irmansyah memaparkan tentang tata cara penghitungan kerugian negara dengan menggunakan dua standar perhitungan keuangan negara, yakni Standar Penghitungan Kerugian Negara (SPKN) dan Standar Jasa lnvestigasi (SJI).
Baca Juga
Dia menjelaskan, jika yang berwenang untuk men-declare Kerugian Keuangan Negara adalah BPK dan tidak bisa di-declare adalah akuntan publik.
“Belum pernah ada orang yang diperkaya melebih dari kerugian (yang dituduhkan jaksa)," ucapnya saat ditanyakan terkait jumlah yang diperkaya lebuh besar dari kerugian negara.
Ditambahkan saksi Prof Halim, keterkaitan akuisisi dengan Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas. Dia menjelaskan Pasal 3 UUPT tentang tanggung jawab pemegang saham di mana pemegang saham, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atau seperate legal entity.
“Jika ada pelanggaran-pelanggaran pada badan perseroan, diselesaikan melalui Pasal 138 UUPT melalui delik aduan, dan tidak bisa disapu rata dengan UU Tipikor,” katanya.
Prof Djumardin, saksi selanjutnya menjelaskan, akuisisi adalah jual beli saham, adalah aktivitas kontraktual yang tidak dapat dijerat dengan pasal korupsi.
“Karena UU Tipikor hanya untuk UU yang secara eksplisit mengatur tentang Tipikor, yang tertuang pada Pasal 14 UU Tipikor,” katanya.
Dalam sidang ini, para terdakwa menjelaskan jika proses akuisisi telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG)dan sesuai dengan UU Perseroan Terbatas.
Mereka juga merasa heran atas tuduhan tindak pidana korupsi yang dituduhkan. Para terdakwa berargumen, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak memahami perbedaan substansial antara proses akuisisi dengan pengadaan barang dan jasa.
Kasus dugaan korupsi ini menjerat lima terdakwa yakni Direktur Utama PT Bukit Asam periode 2011-2016 Milawarma, mantan Direktur Pengembangan Usaha PTBA Anung Dri Prasetya dan Ketua Tim Akuisisi Penambangan PTBA Syaiful Islam (SI).
Lalu, Analis Bisnis Madya PTBA periode 2012-2016 yang merupakan Wakil Ketua Tim Akuisisi Jasa Pertambangan Nurtimah Tobing serta pemilik lama PT SBS Tjahyono Imawan. Mereka diduga merugikan negara (BUMN) sebesar Rp 162 miliar.
Milawarman menjelaskan situasi pada saat akuisisi. PT Bukit Asam sedang dalam kondisi yang genting, karena harga batubara yang terus merosot, sehingga dibutuhkan kontraktor sendiri yang bisa menekan harga priduksi.
“Akuisisi PT SBS merupakan penyelamat PT Bukit Asam. Pak Tjahyono itu malaikat penolong yang menyelamatkan Bukit Asam. Dengan ikhlas dia melepas sahamnya di PT SBS kepada PT BMI,” katanya.
Akuntan Abal-Abal
Terdakwa lainnya yakni Syaiful Islam berkata, kalau saja saat itu penyidik mendengarkan saran BPKB untuk memanggil ahli akuisisi sebelum menaikkan kasus ini.
“Jika penyidik tidak menunjuk akuntan ‘abal-abal’ untuk menyatakan kerugian negara, mungkin nasib kami tidak seperti ini (menjadi terdakwa) sekarang,” katanya.
Saksi Tjahyono Imawan juga mengutarakan kebingunan, kenapa dijadikan tersangka hingga menjadi terdakwa. “Saya bukan komisaris, bukan direktur PT SBS juga,” ucapnya.
Ainuddin yang merupakan penasihat hukum dari pemilik lama PT SBS Tjahyono Imawan mengatakan, alih-alih dihadirkan sudah menjelaskan secara terang posisi kliennya yang seharusnya dari awal tidak dapat dijadikan tersangka.
Karena menurutnya, hal tersebut adalah subjek hukum perdata dan bahkan dalam perseroan, sudah diatur penyelesaiannya pada UUPT. Dia juga mempertanyakan perhitungan kerugian negara itu siapa yang buat.
Jika JPU menetapkan tersangka hanya dengan ahli, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kredibilitas dan keilmuannya kan jadinya seperti ini. Saham BUMN jadi anjlok yang berakibat kerugian negara.
“Sekarang kalau sudah anjlok begini siapa yang mau tanggung jawab. Sementara PT SBS yang mereka permasalahkan sendiri, saat ini untung besar dan juga bermanfaat sebagai kontraktor untuk BUMN lainnya di bidang pertambangan,” ujarnya.
Advertisement