Sukses

Mengenal Nilai-Nilai Universal Kisah Pewayangan yang Tidak Lekang Dimakan Zaman

Terkait nilai-nilai universal yang tidak lekang zaman tentang kemanusiaan, mulai ekologi dari zaman filsafat Yunani hingga saat ini, tema-tema wayang juga membicarakan nilai-niai universal itu.

Liputan6.com, Yogyakarta - Pertanyaan perihal wayang dan relevansinya dalam kehidupan saat ini tidak pernah ada habisnya. Nyaris dalam setiap diskusi soal pewayangan, pertanyaan ini selalu muncul.

Melalui diskusi bertajuk Jawa, Seni, dan Kesemestaan di Studio Rumah Budaya  sesi II di Babaran Bantul, Jumat (22/3/2024), pegiat budaya Jawa Hangno Hartono kembali membedah dunia pewayangan yang bernilai universal.

Diskusi kali ini masih membahas buku Ningrat karya Hangno Hartono. Hangno berpendapat mengikuti jejak artistik wayang tidak saja terbatas dalam ranah teknis tatah sungging dan proporsisi bentuk semata, melainkan masuk ke dalam narasi membentuk teks sebagaimana wayang tidak lepas dari pertunjukan. 

“Wayang bukan ekspresi tunggal tetapi multitalenta. Dalam karya ini juga mengikuti alur intelektual dengan membuat buku sebagai tradisi teks,” kata Hangno.

Terkait nilai-nilai universal yang tidak lekang zaman  tentang kemanusiaan, mulai ekologi dari zaman filsafat Yunani hingga saat ini, tema-tema wayang juga membicarakan nilai-niai universal itu.

“Jadi sudah pasti mengangkat tema wayang selalu relevan,” ujar Hangno.

Ia mencontohkan, tema cinta kasih seperti ajian mondri yang diberikan Sinta kepada Anoman merepresentasikan kasih ibu. Ada pula ketulusan cinta yang digambarkan Rahwana ketika menculik Sinta.

“Ada pandangan umum Rahwana ini menculik dan memenjarakan Sinta, tetapi ada penafsiran lain yakni Sinta itu tidak diculik tetapi dipuja,” ucapnya.

Menurut Hangno Hartono, Sinta dipercaya Rahwana sebagai titisan Dewi Sri, dewi pujaaan Rahwana pada masa lampau yang kemudian menitis ke Sinta.

“Jni bisa dilihat Sinta tidak pernah disentuh atau dirudapaksa, tetapi malah ditempatkan di taman terindah di Alengka yang bernama Asoka yang berarti tidak ada kesedihan (kedamaian),” kata Hangno.

Sebaliknya, justru yang meragukan kesetiaan cinta Sinta adalah Rama. Rama berpikir tidak mungkin Rahmana tidak berbuat asusila. Oleh karena itu, Sinta disuruh membuktikan dengan membakar diri yang menjadi cerita wayang Sinta Obong.

Nilai universal ketulusan cinta digambarkan lewat kisah itu dengan pesan moral cinta yang tulus membebaskan dan bukan memenjarakan.

Nilai universal wayang lainnya adalah kemanusiaan yang meniadakan musuh. Dalam epos Mahabarata, Kurawa kalah perang dengan Pandawa dalam Baratayuda.

“Namun Kurawa yang kalah dihidupkan kembali oleh Pandawa yang berarti yang kalah tidak dimusnahkan tetapi dirangkul kembali secara moral,” tutur Hangno.