Liputan6.com, Bandung - Usai Bulan Ramadan 1445 Hijriah, saatnya memasuki Syawal, pada bulan ini terdapat banyak amalan dan ibadah sunah (dicontohkan Nabi Muhammad) yang dapat dikerjakan.
Salah satunya puasa Syawal. Puasa Syawal diketahui memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh.
Puasa Syawal paling utama dilakukan secara berturut-turut, tetapi bisa juga dikerjakan secara terpisah sepanjang masih dalam bulan Syawal.
Advertisement
Menurut keterangan dari Ustadz Ahmad Muntaha AM dicuplik dari laman NU Online, Rabu, 17 April 2024, karena besarnya keutamaan puasa Syawal yakni setara dengan berpuasa setahun lamanya, umat Islam tak sedikit yang antusias menjalankan puasa ini.
Karena itu, bisa jadi, saat mereka sedang bertamu untuk bersilaturahmi dalam suasana Lebaran atau Idulfitri masih dalam keadaan berpuasa.
Pada situasi seperti ini, mungkin saja sebagian Muslim bimbang saat tuan rumah kemudian menyuguhkan makanan.
Muntaha menjelaskan agar tidak salah paham, hendaknya ada komunikasi yang terbuka antara tamu dengan tuan rumah dengan memberi tahu bahwa sedang menjalankan puasa Syawal.
Bila tuan rumah tidak keberatan dengan puasa tamunya, puasa Syawal dapat dilanjutkan. Sebaliknya, kalau tuan rumah merasa keberatan, membatalkan puasa dengan menyantap hidangan yang sudah disiapkan tuan rumah justru lebih utama.
"Kalau ia (tuan rumah) tidak berkeberatan, maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya," tulis Muntaha.
Muntaha mengatakan pendapat ini didasarakan pada teladan Nabi Muhammad ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunah di tengah jamuan makanan. Rasulullah kemudian menyuruhnya untuk membatalkan puasanya, kemudian mengganti di kemudian hari.
يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ
Artinya, "Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha-lah pada hari lain sebagai gantinya," (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Dari hadits ini menurut Ustadz Ahmad Muntaha, para ulama kemudian merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalussurur) tuan rumah adalah sunah karena perintah Nabi dalam hadits tersebut.
Bahkan, Muntaha menyebutkan dalam kondisi seperti kasus itu, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. Pendapat ini sebagaimana dikemukakan Sayyid Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi dalam karyanya, I’anatut Thalibin.
Keutamaan Puasa Syawal
Menurut Pengasuh Pesantren Darush Sholihin di Panggang, Gunungkidul, Yogyakarta, Muhammad Abduh Tuasikal, dilansir Liputan6, dicuplik dari laman Muslim, Sabtu, 13 April 2024, menerangkan puasa Syawal itu mempunyai keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadan dengan sempurna, lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR. Muslim no. 1164).
Tuasikal menjelaskan dalil diatas merupakan dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal.
Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya.
Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, "Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya." (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)
Advertisement
Seperti Berpuasa Setahun Penuh
Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »
Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal." (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa.
Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa.
Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.
Tata Cara Puasa Syawal
1. Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari
Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, "Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal." (Syarhul Mumti’, 6: 464).
2. Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fitri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, "Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan." (Syarhul Mumti’, 6: 465).
3. Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, "Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan." (Idem)
4. Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, "Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal." (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).
Begitu pula beliau mengatakan, "Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan." (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).
5. Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, "Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh." (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).
Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.
Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu.
Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini. Saat adanya pertanyaan dari masyarakat setempat.
"Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas mengenai hal ini. Mohon penjelasannya."
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia menjawab, "Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih."
Fatwa Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia tersebut bernomor 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan.
Dengan penjelasan soal puasa Syawal dapat menambah pengetahuan kita soal keutamaan dan tata caranya. Semoga amalan ibadah kita terus dilakukan tanpa putus dengan direstui oleh Allah SWT.
Advertisement