Sukses

Nestapa Suku Laut, Ketika Menetap Tak Ada Perlindungan di Pemukiman

Suku Laut adalah salah satu suku nomaden yang eksis di Kepulauan Riau. Mereka menghentikan gaya hidup nomaden dan menetap mengikuti anjuran pemerintah.

Liputan6.com, Batam - Jalur laut yang dilalui kapal Feri rute Batam-Tanjung Pinang dan sebaliknya yang melewati beberapa pulau kecil cukup ramai dan terus meningkat aktivitasnya. Gelombang dan ombak yang ditimbulkan ternyata berdampak terhadap pulau-pulau kecil yang kini dihuni masyarakat Suku Laut.

Warga mengeluhkan arus gelombang yang mengakibatkan abrasi dan terganggunya aktivitas nelayan saat kapal Feri melaju kencang.

Bartolomeus Bidin, salah satu tokoh Suku Laut dari pulau Todak menyebutkan bahwa mereka sudah menyampaikan ke Syahbandar dan operator kapal.

"Laporan kami seputar kecepatan saat melewati kampung kami," kata Bidin.

Bidin adalah ketua RW dan ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Todak Terbang, Kelurahan Pulau Ngenang Kecamatan Nongsa, Batam.

Warga meminta agar operator kapal menurunkan kecepatan kapalnya setiap hendak masuk lampu suar. Tujuannya agar tidak terjadi gelombang laut yang besar.

"Sebagian mengikuti untuk pelan. Namun itu hanya saat mendapat teguran, selepasnya kembali ngebut," katanya.

Suku Laut awalnya adalah salah satu suku nomaden di Kepulauan Riau. Dengan berbagai pendekatan, pemerintah berhasil merayu mereka agar menetap sehingga lebih mudah mendapatkan perlindungan dan hak-hak mereka sebagai warga negara.

 

 

2 dari 2 halaman

Luas Pulau Menyempit

Akibat gelombang laut dari kapal yang ngebut itu, sebagian luas pulau yang dilewati alur pelayaran Tanjung Pinang-Batam dan sebaliknya menyusut sekitar 3-5 meter hanya dalam beberapa bulan.

Mereka adalah Pulau Lepang, Pulau Tanjung Acang, Pulau Kubung, Pulau Todak. Dua pulau yang ditempati suku Laut adalah Pulau Todak 21 KK dan Pulau Kubung sekitar 71 KK. Sementara Pulau lain tak berpenghuni.

"Diantara Pulau yang kena arus kuat mencapai 3 hingga 5 meter kena abrasi, selain itu tanahnya mengandung bouksit jadi gampang turun," kata Bidin.

Abrasi mulai terlihat sejak kapal Feri berganti ukuran dari yang kecil menjadi besar. Ini terjadi mulai tahun 2000. Untuk kapal-kapal kecil memang tidak terasa pengaruhnya karena hanya terjadi di permukaan.

"Namun Kapal Fery yang besar dengan tonasenya cukup terasa gelombang bawah air yang besar sampai kedalaman," katanya.

Selain abrasi, dampak dari padatnya lalu lintas kapal adalah terganggunya aktivitas masyarakat. Setelah menetap sesuai permintaan pemerintah, Suku Laut memilih berprofesi sebagai nelayan. Ini linear dengan kehidupan sebelumnya.

Namun lalu lintas kapal akhirnya mengganggu mereka.

"Kami berharap semua pihak yang memiliki kepentingan memperhatikan lingkungan mengikuti apa yang telah di tetapkan dalam pelayaran. Kami hidup seakan tanpa pembelaan dan perlindungan lagi," katanya.