Sukses

Ajang APMF ke-10, Sutanto Hartono: Jaga Kombinasi Dahsyatnya AI dan Kreativitas Human Touch

Sutanto Hartono, Managing Director of Emtek, CEO of SCM & Vidio mengatakan bahwa saat ini gempuran dahsyatnya penggunaan artificial intellegence harus disikapi dengan cerdas.

Liputan6.com, Badung - Sutanto Hartono, Managing Director of Emtek, CEO of SCM & Vidio mengatakan bahwa saat ini gempuran dahsyatnya penggunaan artificial intellegence harus disikapi dengan cerdas. Menurutnya, kontribusi teknologi AI dalam dunia industri TV adalah perjalanan awal tetapi kedepannya tak ada yang tahu ujungnya akan seperti apa.

"Kita memang mendapatkan gambaran apa yang AI mampu lakukan Tapi saya yakin lima tahun dari sekarang kemampuan IA akan lebih dahsyat lagi. Contoh AI tidak hanya bisa membantu kita meningkatkan kapabilitas to analisis tetapi juga dari sisi generatif maupun memproduksi kontennya sendiri. Misalnya, contoh bikin berita itu tahu-tahu nanti bisa bikin sendiri dan lain sebagainya," ujarnya.

"Tetapi saya balik lagi, bagaimanapun juga namanya human touch tidak sepenuhnya dilakukan apalagi kalau bicara dalam proses kreatif. Kreatif itu tidak bisa untuk diaplikasikan dengan mesin 100 persen. Mesin bisa membantu tetapi (tidak) bisa menggantikan kreativitas tapi kombinasi dua-duanya harus terus dijaga," ujarnya.

Hal itu diungkapkan Sutanto usai menjadi pembicara dalam gelaran Asia Pacific Conference for Media, Advertising and Marketing (APMF) 2024 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Jumat 3 Mei 2024. Dalam kesempatan itu Sutanto juga menjelaskan soal Mixed Reality Factory (MRF) yaitu proses pembuatan konten masa kini dan masa depan yang memungkina membuat konten dengan cepat dan mudah disesuaikan dengan format yang berbeda-beda serta audiens yang berbeda.

Dikatakan Tanto bahwa hal itu bukan hal yang baru sebab teknologi itu ada macam-macam dan ini adalah salah satu teknologi. "Tetapi yang penting adalah kita di Indonesia pilihannya adalah di antara banyaknya pilihan itu, mana teknologi yang cocok dengan lingkungan kita," ujarnya.

Dan lanjutnya, salah satu isu problemnya adalah kita ini sering kali membuat konten dadakan seperti kejar tayang dan perlu teknologi yang bisa membantu hal itu. Jadi ada beberapa teknologi yang canggih tetapi tetap membutuhkan proses.

 

2 dari 2 halaman

Redefinisi Televisi

Lebih lanjut dia menyinggung soal apakah masih relevannya spending time masyarakat di depan TV. Sutanto mengatakan, masyarakat yang melihat TV saat ini mengalami peningkatan dan dari hasil riset sebelum siaran TV analog ke TV digital atau Analog Switch Off (ASO) itu mengalami peningkatan.

"Kalau kita melihat konsumsi TV masih sehat, jumlah durasi rata-rata per harinya malah terjadi sedikit peningkatan dari 4,6 jam menjadi 4,7 jam per hari. Rating-nya juga naik sebelum analog sekarang ini secara totality 11 (persen) sekarang menjadi 11,3 (persen). Nah itu sekarang masih healthy," kata dia, saat ditemui di event APMF di Bali, Jumat (3/5/2024).

Kendati banyak platform media yang menawarkan konten tertentu, tetapi masih banyak orang yang menggunakan broadcast atau melihat televisi free to air (FTA) karena itu yang paling murah meriah dan itu bisa menjangkau seluruh penduduk Indonesia dengan berbagai kepulauan.

"Orang mungkin lupa, bagaimanapun juga yang namanya broadcast teknologi adalah teknologi yang paling murah meriah untuk menjangkau seluruh penduduk Indonesia dengan berbagai kepulauan," imbuhnya.

Namun, menurutnya tantangan industri TV saat ini harus mendorong atau menentukan arah untuk relevansi sehingga masyarakat umum khususnya generasi muda yang melek digital dan media sosial bisa kembali untuk melihat TV.

"Ada dua hal. Pertama adalah kembali apa sih definisi TV, definisi TV tidak bisa dipakai definisi lama yaitu adanya channel broadcast. Tetapi TV ini adalah termasuk konten di dalamnya. Di mana sekarang ini, teknologi memungkinkan bisa dipersonalisasi di berbagai format dan platform kapanpun bisa dikonsumsi," ujarnya.

"Kedua harus ada eksak-nya bahwa TV ini juga mentransform dirinya, sehingga konten-konten yang bisa diproduksi ini bisa meng-address. Tantangan digital itu, adalah tantangan personalisasi, orang ingin bahwa konten ini welcome buat saya. Nah, ini mungkin beda dengan orang lain," ujarnya.

Sehingga, dengan adanya tantangan seperti itu harus bisa memproduksi konten yang lebih banyak dan bagaimana konten itu bisa diciptakan dalam waktu cepat dengan harga yang terjangkau tentu dengan adanya bantuan teknologi salah satunya Artificial Intelligence (AI).

"Karena banyak konten, maka makin tinggi cost-nya itu, kita harus beralih ke teknologi untuk memungkinkan teknologi membantu kita termasuk AI, sehingga konten itu bisa kita produksi menjadi (lebih banyak)," tutupnya.