Sukses

Muslihat Curang di Sengketa Dago Elos? 'Duo Muller' Jadi Tersangka Pembuatan Surat dan Keterangan Palsu

Sejak mula, warga sudah meyakini bahwa putusan hukum yang mereka terima didasarkan pada kecurangan.

Liputan6.com, Bandung - Sengketa tanah di Dago Elos-Cirapuhan, Kota Bandung, kini membuka lembar anyar. Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat telah menetapkan status tersangka terhadap dua orang dari empat pihak yang dulu menggugat warga di pengadilan.

Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Jules Abraham Abast menyampaikan, dua tersangka itu yakni Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustandi Muller. Mereka diduga melakukan tindak pidana pemalsuan surat dan kasus keterangan palsu pada sengketa tanah Dago Elos.

Penetapan status tersebut, kata Jules, merupakan perkembangan dari laporan warga yang diterima polisi LP/B/336/VIII/2023, tanggal 15 Agustus 2023 lalu, atas nama Ade Suherman.

"Ade Suherman melaporkan terkait adanya tindak pidana pemalsuan surat dan atau menyuruh memasukan keterangan palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 dan atau 263 KUHP," ungkap Jules dalam keterangannya, Selasa (7/5/2024).

Sebelumnya, Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustandi Muller masih berstatus saksi. Jules menyebut, peningkatan status mereka merupakan hasil gelar perkara yang telah dilakukan penyidik, serta temuan alat bukti yang mendukung.

"Sebagaimana pasal 184 KUHP terhadap status saksi berdasarkan rekomendasi hasil gelar perkara ditingkatkan statusnya menjadi tersangka," katanya.

Hingga Selasa, 7 Mei 2024, polisi belum melakukan penahan terhadap dua tersangka. Jules menegaskan, penyidik bakal melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap dua tersangka.

"Untuk saat ini kami baru meningkatkan status. Baru selesai gelar perkara sehingga terhadap keduanya dalamwaktu cepat akan dilakukan pemeriksaan dan akan dilakukan proses penyidikan lebih lanjut," tandasnya.

 

2 dari 3 halaman

Riwayat Sengketa

Sengketa di dekat apartemen mewah The Maj Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, itu bermula sekitar November 2016 lalu. Warga yang sudah hidup puluhan tahun di kampungnya itu tiba-tiba berada di ujung penggusuran. Generasi ke empat keluarga Muller mengaku-ngaku sebagai ahli waris lahan seluas 6,3 hektare melingkup permukiman Dago Elos-Cirapuhan.

Warga pun digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung oleh empat pihak atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan PT Dago Inti Graha.

Mereka mengklaim memiliki Eigendom Verponding, bukti kepemilikan lahan di era Hindia Belanda, diwariskan kakek mereka, George Henrik Muller. Haknya lalu dioper kepada PT Dago Inti Graha, 1 Agustus 2016, lewat direktur utama Orie August Chandra.

Tanggal 24 Agustus 2017, majelis hakim PN Bandung, memenangkan gugatan keluarga Muller. Sejumlah bukti dari warga dimentahkan, dianggap tak cukup kuat untuk jadi alas hak.

Bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, warga naik banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Majelis hakim saat itu, terdiri dari hakim ketua Arwan Byrin, hakim anggota Achmad Sobari dan Ridwan Ramli, pun merilis putusannya pada 5 Februari 2018. Hasilnya, warga tetap kalah.

Selepas itu, warga mengajukan Kasasi ke MA. Warga memohon agar pengadilan bisa membatalkan dua putusan awal dari PN Bandung dan Pengadilan Tinggi Bandung.

29 Oktober 2019, majelis hakim MA saat itu yakni hakim ketua Yakup Ginting, serta hakim anggota Ibrahim dan Yunus Wahab mengabulkan permohonan warga. Dua putusan sebelumnya digugurkan.

Namun, pihak keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah Agung (MA) pada 2022 lalu. Putusannya, menguntungkan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha. Mereka diprioritaskan memperoleh hak milik tanah, sedangkan warga Elos terancam digusur.

Pada putusan PK nomor 109/PK/Pdt/2022, dirujuk Liputan6.com melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, lebih dari 300 warga dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum.

 

3 dari 3 halaman

Tetap Melawan

Meski dikalahkan di pengadilan, warga Dago Elos tetap bertahan mendiami kampung dan terus melakukan upaya perlawanan lewat gerakan-gerakan solidaritas, pun celah-celah hukum.

Sejak mula, warga meyakini putusan hukum yang mereka terima didasarkan pada kecurangan, bahwa Heri Hermawan Muller, Dedy Kustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, serta Jo Buli Hartanto selaku Direktur PT Dago Inti Graha, diduga memberikan keterangan-keterangan tidak benar dalam persidangan.

Keterangan tidak benar yang dimaksud warga misalnya menyangkut akta peralihan kepemilikan tanah.

Jadi, merujuk putusan PN Bandung Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, diklaim bahwa tanah permukiman warga Dago Elos-Cirapuhan mulanya milik sebuah pabrik semen pada masa kolonial Belanda, PT Tegel Semen Handeel “Simoengan”.

Selanjutnya, disebutkan bahwa kepemilikan tanah itu diserahkan kepada George Hendrik Muller melalui akta yang dibuat di hadapan notaris pada 7 Agustus 1899.

Namun, warga menduga informasi itu bohong. Pasalnya, warga berhasil menemukan fakta bahwa George Hendrik Muller baru lahir pada 24 Januari 1906. Bukti tanggal kelahiran itu tertera pada nisan makam George Hendrik Muller.

Warga lantas mempertanyakan, bagaimana mungkin George Hendrik Muller yang baru lahir tahun 1906 itu sudah bisa mengurus kepemilikan tanah di tahun 1899?

"Sungguh di luar nalar kami, bila ada yang -lahir saja belum- namun pada tanggal 7 Agustus 1899 sudah bernama George Hendrik Muller, sudah memiliki kemampuan menghadap notaris, dan melakukan perbuatan perdata menerima peralihan hak atas tanah," tulis warga.

Warga pun sudah melaporkan Heri Hermawan Muller, Dedy Kustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan Jo Buli Hartanto ke Polda Jawa Barat. Mereka diduga melakukan perbuatan pidana yakni memberikan keterangan-keterangan tidak benar dalam persidangan di PN Bandung.