Sukses

Warga Rempang Menjaga Asa dengan Melawan

Perlawanan warga Rempang yang hendak direlokasi demi investor adalah menjaga harapan mereka untuk mendapatkan keadilan dan hidup lebih bermartabat.

Liputan6.com, Batam - Warga Pulau Rempang terus bersuara menolak rencana penggusuran atas kampung-kampung mereka. Kampung-kampung yang mereka pertahankan ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka.

Rencana penggusuran ruang hidup yang telah dihuni masyarakat Pulau Rempang sejak ratusan tahun lalu ini merupakan kebijakan pemerintah untuk merealisasikan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Setidaknya ada 16 titik kampung kuno yang dihuni masyarakat Melayu yang ada di Pulau Rempang dan Galang.

Menurut Miswadi, salah satu warga Pulau Rempang mengatakan aksi penolakan merupakan semangat untuk menjaga agar ruang hidup.

"Pembentangan spanduk di perairan Kampung Sembulang Hulu ini  adalah wujud perjuangan masyarakat untuk meraih keadilan, " kata Miswadi.

Masyarakat meyakini kampung-kampung yang saat ini mereka huni adalah hak masyarakat yang seharusnya dilestarikan, bukan justru dihilangkan.

Mempertahankan kampung halaman mereka adalah perjuangan mempertahan peradaban Melayu masyarakat pesisir. Karena di kampung-kampung inilah tradisi dan budaya melayu tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman. 

“Kampung kami lebih berharga dari segala apapun. Peradaban dan kebudayaan kami nilainya jauh lebih mahal dari semua investasi itu. Prosesnya panjang," kata Miswadi.

Sebenarnya warga Rempang heran ada yang mengaku sebagai penengah dan menjembatani agar warga Rempang dan BP Batam sepakat. Mereka yang mengaku penengah ini disebut Miswadi sebagai pembunuh dan pengancam warga agar bersedia direlokasi.

"Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa menghargai dan menghormati proses terbentuknya sebuah kebudayaan," katanya.

 

2 dari 2 halaman

Beda Sikap Pemerintah dan Tim Advokasi

Sementara itu, Aris, warga lain menuturkan bahwa masyarakat Rempang baik-baik saja dan hidup tenang. Ukuran kemajuan yang bersifat relatif tak bisa digunakan untuk mendikte warga agar sesuai selera pemerintah.

"Jika benar-benar ingin membangun kawasan bernuansa Melayu, tidak perlu memindahkan masyarakat yang sudah tinggal turun temurun di kampung-kampung di Pulau Rempang ini. Cukup menjaga dan melestarikan apa yang sudah ada di lingkungan tempat tinggal warga Rempang sekarang," kata Aris yang ditokohkan warga.

Kalangan emak-emak juga mengaku gelisah dan merasa diteror. Sri, salah satu warga mengaku gelisah sejak Rempang menjadi persoalan karena pemerintah memaksakan kehendak. 

"Kedatangan tim terpadu ke rumah-rumah mengusik mereka yang sudah nyaman tinggal di sini. Justru sekarang kami malah tidak tenteram hidup di negeri sendiri," kata Sri.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Even Sembiring, mengatakan bahwa perlawanan masyarakat Pulau Rempang adalah semangat memperjuangkan keadilan.

"Kami akan terus membersamai perjuangan masyarakat Rempang, selama masih ada warga yang ingin berjuang untuk mempertahankan hak. Perjuangan ini adalah perjuangan masyarakat Rempang," kata Even.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga berkomitmen mendampingi mereka.

“Kami dari YLBHI akan mendukung perjuangan masyarakat Rempang," kata Isnur, ketua YLBHI.

Kepala BP Batam Muhamad Rudi menyampaikan pembangunan Rempang Eko city akan segera dimulai.

"HPL Tanjung Banon untuk tempat relokasi sudah keluar. Artinya artinya pembangunan Rempang akan segera kita mulai," kata Muhammad Rudi Kepala BP Batam.

Rudi tak menjelaskan masih adanya penolakan. Menurutnya relokasi warga Rempang merupakan bentuk penempatan masyrakat yang lebih baik demi Rempang kota Baru. Rudi juga tak berbicara tentang perlindungan warga maupun penghormatan pada proses budaya. Ia hanya menyebut nominal uang saja.

"Dengan 11 perusahaan ini 175 triliun di bagi 6 triliun berapa tahun itu, berarti butuh 30 tahun untuk anggaran itu , tapi Rempang hanya 5 tahun," kata Rudi.