Liputan6.com, Bandung - Kasus kecelakaan dan korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia terus mengalami kenaikan, setidaknya dapat diamati pada periode 2020-2022 merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023. Kejadian kecelakaan ini dinilai erat kaitannya dengan kondisi kelelahan dan perilaku pengendara.
Tahun 2020, jumlah kecelakaan di Indonesia mencapai 100.028 kasus. Meningkat menjadi 106.172 kasus (2021), dan melonjak menjadi 139.258 (2022).
Baca Juga
Jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas pada 2020 berjumlah 25.529 orang, menjadi 26.249 orang (2021), lalu meningkat 28.131 orang (2022). Diketahui, korban meninggal paling banyak adalah pengguna sepeda motor mencapai 75-81 persen.
Advertisement
"Merujuk data kecelakaan dari BPS di 2023 itu, bisa diterjemahkan jadi ada 11-13 kecelakaan per jam. Kemudian, 3-4 orang meninggal per jam gara-gara kecelakaan di jalan raya."
Pernyataan itu disampaikan Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB), Fakultas Teknologi Industri (FTI), Prof. Ir. Hardianto Iridiastadi, M.SIE., Ph.D. CPE saat menyampaikan hasil penelitiannya dalam orasi ilmiah beberapa waktu lalu, dicuplik Liputan6.com lewat akun Youtube ITB pada Senin, 27 Mei 2024.
Â
Faktor Kelelahan
Berdasarkan hasil penelitiannya, Hardianto menyampaikan, umumnya kecelakaan di jalan diakibatkan kelelahan. Ada tiga aspek yang bisa menyebabkan pengguna kendaraan kelelahan yakni waktu bekerja, waktu istirahat, dan karakteristik pekerjaan.
Hardianto memaparkan, sebagian masyarakat Indonesia dinilai memiliki waktu istirahat atau tidur yang tidak teratur, durasinya pun sangat mungkin tidak memenuhi syarat kesehatan.
Kondisi tersebut berkelindan dengan waktu bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian masyarakat Indonesia mau tidak mau mesti mengikuti sistem sif kerja yang sebenarnya bisa saja berdampak buruk terhadap risiko kerja.
"Sopir taksi itu bisa kerja dari jam 5 pagi hingga 10 malam. Mereka bisa tidur di mana pun. Itu bisa berdampak buruk pada risiko kerja," katanya.
"Di Indonesia ada kasus sopir ojek online yang kelelahannya kronis, kumulatif, hingga meninggal di tempat kerja. Ada sopir truk yang juga meninggal di jalan, disebut karena sakit jantung, tetapi adalah kelelahan yang sudah kumulatif," kata dia.
Selain itu, kelelahan juga erat dengan karakteristik pekerjaan. Pekerjaan yang monoton, misalnya, dinilai cenderung lebih rentan membuat para pekerja kelelahan.
"Karakteristik kerja contohnya adalah pekerjaan yang monoton bisa menyebabkan kita dengan mudah mengantuk," jelas Hardianto.
Â
Advertisement
Faktor Perilaku
Perilaku berkendara di Indonesia, kata Hardianto, sangat menyedihkan. Masih banyak pengguna kendaraan di jalan yang tidak peduli pada orang lain dan aturan-aturan keselamatan.
Dari mulai melanggar batas muatan, ugal-ugalan saat menyalip kendaraan lain, menerabas jalur-jalur yang tak semestinya hingga menerobos batas kecepatan.
Perilaku ini pun dapat dipandang dalam dua perspektif, yakni perilaku eror atau kesalahan yang dibuat dengan tidak sengaja atau violation yakni keselahan yang disengaja.
"Misalnya, ada istilah ODOL di dunia transportasi truk yaitu Over Dimension dan Over Loading. Truk yang kapasitasnya sekian ton, tapi dipaksa untuk mengangkut bahan yang jauh lebih banyak dan ukurannya lebih besar," jelasnya.
"Contoh lain, kalau kita naik bus, banyak sekali bus yang pepet-pepetan, kejar-kejaran. Berjarak satu meter dengan kendaraan lain saja bisa di atas kecapatan 60-80 km/jam, sangat menyedihkan," imbuhnya.
Perilaku di jalanan ini tidak hanya dipandang sebagai perilaku perorangan, tapi menjadi perilaku massal atau psikologi sosial. Perilaku seseorang bisa termotivasi karena melihat perilaku orang lain yang dilazimkan atau dibiarkan.
"Ketika ada di jalan raya motivasinya menjadi bukan motivasi dirinya semata, tapi karena ada dorongan dari kawan-kawannya. Begitu ada satu orang yang naik trotoar dan dibiarkan, maka kemudian yang lainnya ikutan," terang Hardianto.
Â
Konteks Indonesia yang Kompleks
Hardianto melihat permasalahan kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah suatu masalah yang kompleks yang tak bisa dilepaskan dari konteksnya, melibatkan banyak kepentingan, dan spektrum yang luas. Antara lain, kepentingan ekonomi hingga minimnya perangkat dan penegakan keselamatan lalu lintas.
"Konteks Indonesia itu artinya seperti ada pasar tumpah di jalan, tidak ada rambu atau marka jalan, tidak mengerti berhenti dan memberi jalan bagi orang yang nyeberang di tengah penyebarangan jalan, itu masih terus kita langgar," katanya.
Meski demikian, Hardianto beranggapan, betapa pun kompleks dan semrautnya kondisi serta perilaku berlalu lintas di Indonesia, tetap mesti terus berupaya melakukan perbaikan di antaranya melalui intervensi dan mitigasi yang serius.
"Sehingga jumlah kecelakaan menjadi lebih minim. Namun, memang pendekatannya tidak sederhana. Banyak penelitian yang seolah-olah menyederhanakan persoalan," katanya.
"Pendekatan yang ditempuh haruslah pendekatan yang terintegrasi, sistematis, dan socially acceptable, harus bisa diterima oleh umumnya orang," tandas Hardianto.
Advertisement