Sukses

UPH Lantik Guru Besar Baru di Bidang Ilmu Keamanan dan Perdamaian

Ambil penelitian soal sensitivitas konflik, seorang dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang, mendapatkan gelar Guaru besar Tetap dalam bidang Ilmu Keamanan dan Perdamaian.

Liputan6.com, Tangerang - Berkat penelitian mengenai sensitivitas konflik, seorang dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang, mendapatkan gelar Guru besar Tetap dalam bidang Ilmu Keamanan dan Perdamaian.

Bahkan, Prof Edwin Martua Bangun Tambunan, mengambil contoh konflik internasional seperti Israel dengan Hamas, Ukraina dengan Rusia sebagai contohnya. Menurutnya, apabila kedua pihak mau melakukan kalkulasi dan memiliki sensitivitas konflik, maka kemungkinan besar tidak perlu terjadi perang besar yang menewaskan ribuan penduduk sipil.

Penelitian yang berjudul “Sensitivitas Konflik untuk Mewujudkan dan Merawat Perdamaian”, Prof. Edwin menekankan tentang pentingnya penerapan sensitivitas konflik untuk mewujudkan dan merawat perdamaian. Upaya ini perlu dilakukan di berbagai bidang kehidupan, terutama untuk mencegah efek destruktif yang ditimbulkan akibat konflik yang terjadi antar organisasi atau negara tertentu.

“Sensitivitas konflik adalah pendekatan dari organisasi untuk memastikan bahwa respons atau intervensi yang dilakukan jangan sampai secara tidak sengaja berkontribusi terhadap konflik. Sebaliknya, dengan adanya sensitivitas konflik justru harus semakin memperkuat inklusi, partisipasi, dan rasa kepemilikan. Adapun respons atau intervensi yang dimaksudkan di sini dapat berupa inisiatif, kebijakan, program, proyek, atau tindakan,” jelasnya.

Menurutnya, ada tiga cara penerapan sensitivitas konflik yang dapat dilakukan dalam suatu organisasi. Pertama, dengan membiasakan organisasi untuk melaksanakan analisis konflik dan memperbaruinya secara berkala.

Kedua, dengan menghubungkan analisis konflik dan siklus pemrograman intervensi. Ketiga, dengan merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi intervensi merujuk pada hasil analisis konflik, termasuk mendesain ulang bila diperlukan. Di antara ketiganya itu, analisis konflik adalah komponen utama dalam pengembangan sensitivitas konflik.

“Kegiatan ini menjadi landasan untuk penyusunan program yang sensitif terhadap konflik, khususnya dalam hal pemahaman tentang interaksi antara intervensi dan konteksnya,” katanya.

Melalui penelitiannya juga, dia berharap manfaat dari sensitivitas konflik dapat diterapkan secara relevan dan penerapannya diperluas termasuk ke dalam ranah kebijakan publik dan dunia usaha. Dia menegaskan, penerapan secara cermat dan tepat dapat mencegah terjadinya risiko, meminimalkan risiko, dan mitigasi risiko terjadinya konflik atau kekerasan.

“Selain itu, juga akan membentuk persepsi positif atas kebijakan, program, proyek, atau inisiatif yang dilaksanakan, serta memperkuat citra dan reputasi positif dari organisasi maupun pejabatnya,” kata Edwin.