Sukses

Jakarta Setelah IKN, Jadi Parah atau Makin Keren?

Seorang warga Jakarta tak mau ambil pusing dengan status Jakarta yang kini bukan lagi ibu kota. Baginya yang terpenting adalah bagaimana warga bisa hidup layak dengan kemudahan mencari pekerjaan.

Liputan6.com, Jakarta - Widi warga Pondok Kelapa Jaktim tak mau ambil pusing dengan status Jakarta yang kini bukan lagi ibu kota. Status baginya bukan masalah, yang terpenting adalah bagaimana warga Jakarta bisa hidup layak dengan kemudahan mencari pekerjaan.

"Gak mikirin saya mah, yang penting nyari duit gampang, udah itu aja," katanya singkat.

Berbeda dengannya, Toni warga Bukit Duri merasa gusar jika Jakarta tak lagi menyandang status ibu kota. Bukan tanpa alasan, dia takut, perhatian pemerintah pusat akan berkurang. Apalagi daerah tempat tinggalnya kerap banjir.

"Enakan tetep ibu kota kayaknya, kalau banjir pemda turun, pemerintah pusat deket bisa langsung turun juga, kayak Kemensos" katanya.

Kegusaran Toni bukan cuma itu, impian Jakarta bakal jadi pusat ekonomi global saat tak lagi menyandang status ibu kota membuatnya berpikir, apakah orang-orang kecil sepertinya, yang tinggal di kampung kota yang becek dan langganan banjir, akan tergusur?

Status Daerah Khusus Ibu Kota bagi Jakarta memang sudah habis sejak 15 Februari 2024 silam karena implementasi UU IKN. Tinggal menunggu Presiden Jokowi ketok palu lewat keppres. Artinya saat ini Jakarta masih berstatus ibu kota sampai keppres itu muncul, mungkin tidak lama lagi. Pasalnya perencanaan pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) ke IKN Nusantara serius dilakukan. Pembangunan infrastruktur tempat tinggal untuk ASN pun terus dikebut. 

Menpan RB Abdullah Azwar Anas dalam satu kesempatan di hadapan wartawan pada medio April 2024 pernah mengatakan, total ASN prioritas pertama yang bakal dipindahkan berjumlah 11.916 orang, sedangkan prioritas kedua 6.774 orang, dan prioritas ketiga 14.237 orang. Bayangkan jika semua ASN yang pindah juga membawa keluarganya. Bayangkan lagi eksodus ASN ke IKN itu dilakukan bersamaan dengan penonaktifan NIK warga ‘siluman’ yang berdomisili di luar Jakarta. Bayangkan juga dua kejadian itu berlangsung di tengah angka pendatang Jakarta yang trennya terus menurun dari tahun ke tahun.

Tapi banyak pengamat menyebut, ‘kehilangan’ warganya tidak serta merta menghapus begitu saja dua problematika utama kota Jakarta: macet dan banjir. Untuk dua hal itu, semua orang Jakarta mungkin sudah apatis. Namun setidaknya ada sedikit angin segar, berkurangnya penduduk bisa secara signifikan mengurangi beban ekonomi kota. Pendapat ini pernah diutarakan pengamat Tata Kota Universitas Trisaksi Yayat Supriatna dalam sebuah kesempatan diskusi. Yayat menyebut, banyak warga Jakarta yang tinggal di daerah-daerah penyangga masih menikmati fasilitas yang diberikan pemda Jakarta yang anggarannya bahkan mencapai Rp12-18 triliun.

Yayat menjelaskan, penduduk Jakarta yang benar-benar menetap di Jakarta ternyata hanya 9 juta orang dari 12 juta penduduk Jakarta yang tercatat. Sebanyak 3 juta warga tinggal di kota-kota penyangga dengan masih menikmati fasilitas dari pemda Jakarta. Secara jangka panjang, kata Yayat, penghapusan KTP warga siluman ini bisa mendatangkan sejumlah manfaat, seperti data pemilih Pilkada jadi lebih akurat, penyaluran bansos menjadi lebih tepat sasaran, dan yang paling penting adalah penghematan anggaran, yang tentu bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, salah satunya membangun ekosistem industri kreatif kota Jakarta.

Ini cita-cita penting yang menjawab kegusaran hati Toni: mau dibawa kemana wajah Jakarta setelah tak lagi ibu kota? Jika menelisik lebih dalam Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta, setidaknya ada dua bagian pasal yang membicarakan secara langsung ‘perwajahan’ Jakarta, yaitu pada bagian delapan yang menyinggung soal pariwisata dan ekonomi kreatif. Lainnya ada pada pasal bagian 12 yang membicarakan soal kebudayaan, yakni budaya Betawi. Pariwisata bisa dianggap wajah Jakarta secara fisik, sedangkan kebudayaan Betawi adalah wajah Jakarta secara batin. Kedua bagian ini perlu berkelindan menciptakan formula yang tepat merepresentasikan kembali Jakarta yang selama ini dicap angkuh, banal, dan lebih kejam dari ibu tiri.

Lalu yang jadi soal sekarang bagaimana cara ‘mengembalikan’ Jakarta kepada ke-Betawi-annya, setelah eliminasi secara sistematis kepada orang Betawi di kota bandar yang sekarang bernama Jakarta ini sudah terjadi sejak abad ke-17, saat pendatang ‘asing’ menguasai mereka yang ‘asli’. Dan bagaimana cara mengelaborasi pariwisata Jakarta dan kebudayaan Betawi itu sendiri, setelah sekian lama seni dan budaya Betawi seolah cuma menjadi manekin pengisi etalase yang diambil saat diperlukan saja.     

Kunci untuk mengembalikan Jakarta kepada ke-Betawiannya adalah dengan meluruhkan ego kedaerahan. Hal itu diutarakan Budayawan Betawi yang juga anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Fadjriah Nurdiarsih. Saat dihubungi Liputan6.com, Mpok Iyah, sapaan akrabnya mengatakan, di tengah masyarakat Jakarta yang multikultur seharusnya ego kedaerahan luruh dan melebur menjadi satu sebagai ‘orang Jakarta’. Sehingga jika tidak ingin tercerabut dari kebudayaan asal, paling tidak orang di Jakarta punya rasa peduli terhadap kebudayaan Betawi. Peduli dalam arti Betawi perlu mendapat prioritas dan selalu dilibatkan dalam hiruk pikuk industri seni dan budaya di Jakarta yang terus berkembang ke arah modern.

Melepaskan ego kedaerahan di tengah masyarakat Jakarta yang multikultur, menjadi satu modal besar untuk mengubah wajah Jakarta menjadi lebih humanis.

"Orang-orang yang datang dulu tidak merasa sebagai orang Betawi. Padahal pendatang banyak hidup di sini dan cari makan di sini tapi enggak pernah mikirin kebudayaan orang-orang aslinya, orang Betawi. Multikultur itu justru menjadi kekuatan karena ego kedaerahan seharusnya sudah tidak ada lagi.  Jadi, tidak perlu menonjolkan kedaerahan, semua unsur yang ada di Jakarta sudah kita anggap sebagai Betawi. Sebab, memang corak Jakarta itu multikultur dan itu sesuai dengan semangat egaliter orang Betawi," kata Mpok Iyah.

 

2 dari 3 halaman

Kota Sastra Dunia

Dalam sebuah diskusi publik bertajuk ‘Jakarta City of Literature’: Sekadar Status atau Serius Dihidupi? yang digelar Dewan Kesenian Jakarta belum lama ini, seorang audiens bertanya kepada narasumber kira-kira begini: apa bagusnya Jakarta sehingga dipilih pemerintah untuk menjadi City of Literature, kota sastra dunia? Mengapa enggak Padang Panjang atau Banda Aceh, masih banyak kota yang lebih pantas menyandang gelar itu ketimbang Jakarta.

Mpok Iyah menampik Jakarta tidak pantas menyandang gelar Kota Sastra Dunia. Menurutnya Jakarta sangat bisa menjadi Kota Sastra Dunia, mengingat kota ini sudah terbangun beragam infrastruktur pendukungnya, mulai dari perpustakaan dengan sistem modern, toko-toko buku, kantong-kantong kebudayaan, gedung pertunjukan, hingga kafe-kafe berkonsep sastra dan komunitas yang melingkupinya. Artinya industri sastra di Jakarta sudah bergerak meski belum sepenuhnya ideal.

"Hidupnya industri sastra tentu tidak bisa lepas dari perkembangan industri lainnya, seperti film misalnya, karena banyak juga alih wahana dari sastra (buku) ke film," katanya.

Ke depan, dalam imajinasi Mpok Iyah, perlu ada koordinasi dan pelibatan banyak pihak agar industri sastra di Jakarta terus berkembang, mulai dari komunitas sastra, pencinta buku, juga pemerintah daerah dan pihak swasta. Sehingga perkembangannya bukan lagi dalam skala nasional, tapi sudah internasional. Bayangkan suatu saat, banyak orang-orang Malaysia dan Australia datang ke TIM di Jakarta untuk melihat pertunjukan Teater Koma atau orang-orang Belanda datang ke Salihara menyaksikan puisi-puisi Chairil Anwar dibacakan.  

Yang terpenting, mungkin kebanyakan orang Jakarta juga lupa atau bahkan tidak tahu, Betawi punya tradisi folklore yang kaya, yang juga bisa dikembangkan seiring dengan perkembangan industri sastra di Jakarta. Sebut saja seperti bahasa rakyat Betawi misalnya, meliputi logat, sistem fonologinya, sistem morfologinya, dan sistem sintaksisnya. Belum lagi ungkapan-ungkapan tradisional Betawi yang kaya, cerita rakyat, puisi rakyat Betawi, nyanyian rakyat, hingga ke permainan rakyat, drama rakyat, tari-tarian, hingga upacara-upacara sekitar siklus kehidupan Betawi. Semua itu tentu saja menjadi potensi besar yang bisa dikembangkan dalam kaitannya mengisi Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia.

Jika semua unsur mau berkolaborasi dan menjadikan Betawi sebagai satu pijakan kebudayaan, tak menutup kemungkinan Jakarta akan menjadi lebih keren selepas ada IKN. Sehingga cita-cita menjadi Kota Sastra Dunia juga akan diikuti dengan kota industri dunia atau kota ekonomi dunia yang berujung pada kesejahteraan masyarakat. Sehingga orang-orang seperti Widi tak perlu khawatir kesulitan mencari kerja, dan orang-orang seperi Toni tak perlu takut rumahnya tergusur.

3 dari 3 halaman

INFOGRAFIS