Sukses

Dari 'Friends with Benefit' Jadi Hubungan Toxic yang Menyuburkan Kekerasan Seksual

Dalam pola hubungan FwB kesadaran tanggung jawab dan komitmen dinilai bisa menjadi tidak relevan. Kondisi tersebut bisa menjadi sebuah kerentanan terjadinya kekerasan seksual.

Liputan6.com, Bandung - Kekerasan seksual dinilai berkelindan dengan masalah-masalah lain, merupakan pucuk gunung es yang dipengaruhi sejumlah kondisi di bawah permukaan, variabel di antaranya adalah pola hubungan Friends with Benefit (FWB).

Anggapan ini disampaikan Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Indonesia (UI) Periode 2021-2024, Prof. Manneke Budiman, saat menjadi pembicara pada Studium Generale di kampus ITB, Bandung, dicuplik Liputan6.com melalui saluran Youtube ITB, (1/6/2024).

Ketua Departemen Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI itu melekatkan antara pola hubungan FWB dengan relasi toxic.

"Kekerasan seksual adalah pucuk gunung es. Apa yang terjadi di bawahnya, yang menyuburkan? itu adalah relasi tosik. Sekarang di antara anak muda itu ada Hubungan Tanpa Status (HTS), Friends with Benefit (FWB)," katanya.

Menurutnya, dalam bentuk hubungan FWB, kesadaran tanggung jawab dan komitmen dinilai bisa menjadi tidak relevan. Kondisi tersebut justru bisa menjadi sebuah kerentanan.

"Kita tidak usah jadi pacar tapi saling mengambil keuntungan dan manfaat saja. Kalau satu pihak sudah merasa tidak bermanfaat, ya, pisah saja, cari yang lain. Tidak ada tanggungjawab, tidak ada komitmen, senang-senang saja. Ini menjadi penyebab utama kalau di UI," aku Budiman.

Dalam tabiat hubungan yang demikian, sangat mungkin antarindividu tergiring pada obajektivikasi dan eksploitasi terhadap pihak lain. Kepedulian terhadap pasangan menjadi minim, hanya memandangnya sebagai "objek pemuas nafsu seksual".

"Bisa memperlakukan orang lain tidak sebagai manusia yang harus disayangi, tetapi menjadi sumber daya yang bisa dieksploitasi. Kita sudah memandang pasangan kita, pacar, teman, dengan kacamata sebagai objek, kita mengobjektivikasi. Macam-macam bisa terjadi tidak hanya KS (kekerasan seksual)," papar Budiman.

Seks Kasual

Di samping itu, kekerasan seksual juga dipandang bisa subur oleh perilaku seks kasual. Artinya, memandang hubungan seksual tidak lagi pada tatanan nilai yang kalis atau suci dan istimewa, serta mesti dijaga. Amatan Budiman, konsep berpacaran pada masyarakat kini kerap diimbuhi dengan perilaku seks kasual.

Dengan menyadang status "pacaran", masing-masing bisa menjadi pihak yang beranggapan memiliki legitimasi untuk menuntut sesuatu pada pihak lain, di dalamnya termasuk tuntutan seksual.

"Sekarang itu yang namanya pacaran hampir tidak mungkin tanpa hubungan seksual. Itu kenyataan yang harus dihadapi tidak dengan menutup mata, tetapi dengan mengakuinya dan kemudian mencari cara terbaik untuk menghadapi kondisi yang kini terjadi," katanya.

Perilaku individu juga mengalami proses timbal balik dengan kultur komunitas yang, menurut Budiman, juga menjadi faktor penyubur kekerasan seksul.

Kultur komunitas yang dia maksud itu antara lain berupa sikap yang menormalisasi candaan seksual, sentuhan fisik, hingga hiper-maskulinitas.

"Karena sering bersentuhan, sehingga misalnya saya merasa bahwa berarti saya boleh menyentuh, seolah-olah itu jadi sesuatu yang boleh setiap saat, di manapun juga," kata Budiman.

"Pada suatu saat memang bisa aja seseorang itu merasa nyaman, di saat lain bisa tidak. Penerimaannya itu bisa beda. Bukan dia (yang saya sentuh) tidak konsisten, tapi dia adalah manusia yang punya perasaan. Ketika kita gagal mempertimbangkan hal demikian, berarti kita menganggap teman terdekat adalah barang yang bisa kita perlakukan semau kita, luput bertanya dia sedang nyaman atau tidak?" katanya.

Video Terkini