Liputan6.com, Aceh - Kopiah merupakan salah satu penutup kepala yang sudah banyak digunakan masyarakat Indonesia. Masyarakat Aceh, tepatnya yang tinggal di Kabupaten Pidie, memiliki kopiah khas bernama riman.
Mengutip dari indonesia.go.id, riman sudah ada sejak zaman Sultan Iskandar Muda. Artinya, kopiah ini sudah ada jauh sebelum Bung Karno dikenal sebagai bapak kopiah Indonesia.
Riman juga merupakan sebuah hasil kerajinan tradisional dari serat pohon aren. Dahulu, kopiah riman hanya dipakai oleh kaum bangsawan laki-laki Aceh, terutama pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17 Masehi (1607-1636 M). Tak heran jika beberapa orang menyebut kopiah riman sebagai kopiah peninggalan zaman Sultan Iskandar Muda.
Advertisement
Baca Juga
Kopiah ini memiliki dua bentuk, yakni bulat dan lonjong. Umumnya, ada sentuhan corak khas Aceh untuk menambah keindahan kopiah. Setidaknya ada sekitar 20 motif yang dikembangkan dan dinilai sebagai karya seni bernilai estetika.
Proses pembuatan kopiah riman diperlukan keahlian khusus, ketelatenan, serta kesabaran. Pasalnya, dibutuhkan waktu cukup lama untuk membuat riman, yakni sekitar satu bulan.
Bahan baku utama serat pohon aren banyak terdapat di daerah setempat. Kaum laki-laki biasanya bertugas mencari batang pohon aren yang tumbuh di sekitar desa. Batang aren tersebut kemudian dirajam hingga berbentuk serat.
Selanjutnya, proses pembuatan riman dilanjutkan oleh kaum perempuan. Mereka memilih serat sebelum diolah.
Serat yang sudah diolah kemudian direndam dalam larutan lumpur dan daun pewarna yang sudah ditumbuk, kemudian dicuci dan dijemur. Serat yang sudah kering digunakan sebagai bahan pembuatan kopiah riman.
Proses pembuatannya dimulai dari membuat benang dari serat batang pohon aren. Proses ini memerlukan waktu sekitar seminggu yang dimulai dari mengambil batang pohon aren yang sudah dipilih, pewarnaan, hingga menjadikannya gulungan benang (hitam dan kuning emas).
Dahulu, bahan serat benang terbuat dari pelepah daun riman. Namun, karena pohon tersebut semakin sulit ditemukan akhirnya diganti dengan pelepah pohon aren.
Pelepah pohon aren yang diambil kemudian dipukul-pukulkan dalam posisi berdiri hingga ampas serat terbuang. Setelah itu, serat-serat yang ada pada pelepah pohon aren dikeluarkan satu persatu menggunakan jarum.
Sebelum pewarnaan, serat pelepah pohon aren yang berwarna krem dipisahkan terlebih dahulu antara yang halus dan kasar. Fungsinya, serat yang halus digunakan di bagian luar kopiah, sedangkan yang kasar digunakan di bagian dalam kopiah.
Selanjutnya, barulah diberi warna. Proses pewarnaan ini dilakukan dengan cara merebus serat-serat pelepah pohon aren ke dalam belanga yang di dalamnya telah dilapisi daun keladi.
Serat-serat yang dimasukkan ke dalam belanga berisi air yang dicampur dengan daun peuno, daun bunga tanjung, dan putik kelapa itu direbus sekitar 10 jam. Setelah direbus, serat benang dari pelepah pohon aren dilumpurkan selama dua hari, lalu diangkat dan dianginkan.
Proses menanam serat ke dalam lumpur dilakukan selama tiga kali. Proses selanjutnya adalah mencucinya dengan air remasan daun peuno.
Awalnya, kerajinan ini dilakukan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Hingga pada 1985, kerajinan ini dihidupkan kembali karena peminatnya yang semakin banyak.
Bersamaan dengan itu, kesenian membuat kopiah pun menjadi mata pencaharian sampingan masyarakat desa. Hingga kini, Kabupaten Pidie telah menjadi sentra pembuatan kopiah riman, tepatnya di Desa Dayah Adat, Aceh.
Â
Penulis: Resla