Sukses

Alasan Konkret Jaringan Gusdurian Tolak Izin Tambang untuk Ormas

UU minerba itu menyebut, izin hanya dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan melalui cara lelang.

Liputan6.com, Gorontalo - Jaringan Gusdurian menolak kebijakan pemerintah untuk memberi izin pada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Pasalnya, kebijakan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Di mana, UU minerba itu menyebut, izin hanya dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan melalui cara lelang. Oleh karena itu, Jaringan Gusdurian meminta pemerintah untuk meninjau ulang izin tambang pada ormas keagamaan.

“Karena berpotensi menciptakan ketegangan sosial dan konflik horizontal apabila terjadi persoalan di tingkat lokal,” kata Inayah Wahid, Pokja Keadilan Ekologi Jaringan Gusdurian.

Gusdurian juga mengajak ormas keagamaan untuk tetap menjadi kekuatan penjaga moral, nilai, dan etika bangsa.

“Gusdurian mengajak ormas keagamaan terus menjadi pendamping umat demi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama,”

Selain itu, kata Inayah, pemerintah juga harus tegas melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan yang selama ini terjadi

“Serta melakukan pemulihan dampak sosial ekologis akibat perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam,” tegasnya.

Ia juga mengajak warga masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah dan memastikan bahwa penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan konstitusi.

“Dan semua itu diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat,” ujarnya.

2 dari 2 halaman

Pemberian Izin Tambang

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan yang memberi izin organisasi keagamaan untuk mengelola tambang batu bara dan mineral.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Aturan baru itu menyertakan pasal 83A yang memberikan kesempatan organisasi keagamaan untuk memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

Di sisi lain, berbagai liputan media massa juga menengarai adanya proses pengambilan keputusan penyelenggara negara yang berpotensi penyalahgunaan kewenangan.

Terlebih lagi, industri pertambangan di Indonesia penuh dengan tantangan lingkungan dan etika, termasuk degradasi lahan, penggundulan hutan, dan penggusuran masyarakat lokal.

Jaringan Gusdurian telah mendampingi berbagai kasus semacam ini, seperti kasus Wadas, Kendeng, Tumpang Pitu, Gorontalo, Pandak Bantul, Banjarnegara, Mojokerto, dan beberapa kasus lainnya.

Harusnya, kata Inayah, organisasi keagamaan terus mengingatkan pemerintah untuk mengambil setiap kebijakan berbasis prinsip etik.

“Keterlibatan organisasi keagamaan dalam sektor pertambangan menimbulkan banyak risiko turunan,” kata Inayah yang merupakan putri Gus Dur.

Ia bilang, kebijakan diperbolehkannya ormas keagamaan mengelola tambang ini berpotensi menciptakan ketegangan sosial apabila terjadi persoalan di tingkat lokal.

Ditambah lagi, katanya, jumlah organisasi keagamaan yang sangat banyak, termasuk di daerah-daerah.

“Sehingga sangat mungkin terjadi kerumitan pada tingkat pelaksanaan yang bisa berujung kepada makin besarnya penyalahgunaan wewenang pengambil kebijakan,” tuturnya

Di sisi lain, saat ini banyak negara di dunia yang mulai mencari energi alternatif agar ketergantungan pada batu bara bisa dihentikan dalam beberapa tahun ke depan.

Ia bilang, aktivitas tambang batu bara secara global sudah dikategorikan sebagai bahan bakar kotor dikarenakan prosesnya yang merusak alam dan menghasilkan polutan berbahaya.

Ia tegaskan, bisnis ini merupakan bagian dari industri ekstraktif yang mengolah dan menguras sumber daya alam.

“Juga bisa menimbulkan penghancuran habitat, mengakibatkan polusi, dan penipisan sumber daya, serta bencana alam lainnya,” ungkapnya

Adapun Jaringan Gusdurian sebagai organisasi yang berupaya melanjutkan nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur mengkritisi peraturan tersebut.

Rekam jejak Gus Dur pun menunjukkan konsistensinya menolak industri ekstraktif yang merusak sumber daya alam dan mengeksklusi rakyat dari ruang hidupnya.

Bahkan, katanya, tercatat dalam sejarah, bahwa Gus Dur adalah satu-satunya presiden Indonesia yang tidak pernah memberikan konsesi tambang.

“Serta melakukan moratorium penebangan hutan untuk keberlanjutan kelestarian ekosistem. Sehingga Jaringan Gusdurian menolak kebijakan pemerintah untuk memberi izin pada ormas keagamaan,” pungkasnya.