Sukses

Bele Kampung, Ritual Pembersihan ala Masyarakat Lingga

Berbagai makna yang tertuang dalam bahan yang digunakan untuk tradisi atau ritual bele kampung ini menjadi bukti bahwa tradisi ini memiliki maksud khusus. Tak heran, jika ritual bele kampung masih terus dikestarikan hingga saat ini.

Liputan6.com, Kepri - Masyarakat di Desa Kelumu, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau memiliki ritual atau tradisi yang disebut bele kampung. Tradisi yang sudah dilakukan turun-temurun ini dilaksanakan setiap 15 hari bulan Muharam.

Mengutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, pelaksanaan bele kampung secara umum bertujuan untuk membersihkan kampung. Pembersihan itu mencakup hal-hal gaib maupun nyata.

Melalui pembersihan ini, dibarapkan bele kampung dapat membuat kampung aman dan terhindar dari segala bencana, marabahaya, dan wabah penyakit. Tradisi ini juga dimaksudkan agar warga kampung senantiasa diberikan limpahan rezeki oleh Tuhan.

Pelaksanaan ritual bele kampung dipimpin oleh seorang bomo. Dalam pelaksanaannya, juga diperlukan seperangkat alat dan bahan upacara berupa mangkok tempat bara api, mangkok-mangkok untuk tempat berbagai bahan, kayu atau sabut untuk di bakar menjadi bara, bertih, beras baso (beras putih yang dicuci), beras kunyit, kemenyan, kain putih, bendera kain putih, bakek, kapur, gambir, pinang, dan bubur lemak.

Bubur lemak tersebut dibuat dari bahan berupa santan, beras, dan garam. Umumnya, ritual ini dimulai dengan bele laut yang dilaksanakan pagi hari. Selepas zuhur, dilakukan ritual di tembok bekas masjid lama yang berada di hulu kampung.

Selepas bele kampung, masyarakat dilarang lewat jalan laut selama tiga hari. Jika ada orang luar yang masuk, maka akan dikenakan denda membayar sedikit uang untuk membuat bubur santapan selepas doa selamat.

Pantangan lainnya yang harus dipatuhi adalah mengambil batu atau pasir, mencangkul tanah, menebang kayu, memetik daun, bersiul, membunuh makhluk hidup, dan menangkap hasil laut. Adapun beberapa bahan yang digunakan dalam ritual bele kampung juga memiliki makna tersendiri.

Sebut saja beras putih yang melambangkan kebersihan hati, kesejahteraan, dan kemakmuran. Sementara beras kunyit melambangkan kemuliaan, kesembuhan, dan cita-cita mulia.

Selanjutnya bertih atau bereteh melambangkan kesuburan dan kemajuan, bendera menjadi penanda adanya proses bele kampung, bakek untuk memberi semangat dan berserah diri, serta kapit yang bermakna sebagai kebersihan dan kesucian hati. Ada pula gambir yang bermakna keberkatan dan penawar, bubur lemak sebagai kelembutan dan mupakat, serta mangkok atau wadah yang bermakna menghimpun.

Berbagai makna yang tertuang dalam bahan yang digunakan untuk tradisi atau ritual bele kampung ini menjadi bukti bahwa tradisi ini memiliki maksud khusus. Tak heran, jika ritual bele kampung masih terus dilestarikan hingga saat ini.

 

Penulis: Resla