Sukses

Jumlah Warga Positif HIV/AIDS di Manado Bertambah 101 Orang di Semester Pertama 2024

Jennifer Mawikere mengungkapkan, persoalan yang ditemui saat mendampingi 4 populasi kunci itu adalah temuan reaktif atau mereka yang terindikasi tertular HIV/AIDS cukup tinggi.

Liputan6.com, Manado - Angka warga teridentifikasi positif HIV/AIDS di Kota Manado, Sulut, dalam waktu 6 bulan terakhir ini mencapai 101 orang. Jumlah ini berasal dari komunitas atau populasi kunci yang menjadi pendampingan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sulut.

“Kami melakukan program penjangkauan pada 4 populasi kunci di Kota Bitung, Tomohon, Manado dan Ternate. Populasi kunci itu adalah Komunitas Lelaki Seks Lelaki (LSL), transgender atau waria, Pekerja Seks Perempuan (PSP) dan pengguna narkoba suntik,” ungkap Direktur Eksekutif PKBI Sulut Jennifer Mawikere kepada sejumlah wartawan pada, Senin (1/7/2024).

Dia mengungkapkan, pendampingan yang dilakukan oleh PKBI pada 4 populasi kunci itu sebenarnya sudah sejak 2010, tetapi sempat terhenti dan dilanjutkan kembali pada 2018.

“Kita mendampingi 1.376 PSP, 4.678 LSL di Manado, juga pengguna narkoba suntik sebanyak 257 di Manado,” tuturnya.

Jennifer Mawikere mengungkapkan, persoalan yang ditemui saat mendampingi 4 populasi kunci itu adalah temuan reaktif atau mereka yang terindikasi tertular HIV/AIDS cukup tinggi.

“Untuk PSP dalam satu semester ini sejak januari hingga Juni 2024 ada 12 positif HIV. Di populasi kunci yang lain dalam kurun waktu yang sama ada 101 positif HIV,” ungkap dia.

Dia mengatakan, hal itu merupakan fenomena gunung es, di mana ketika ada 1 positif, maka di bawah ada 100–200. Bisa dihitung berapa banyak yang berpotensi positif HIV khusus di komunitas atau populasi kunci.

“Untuk pengguna jarum suntik tidak ada kasus HIV, karena penggunaan kondom yang 100 persen dan tidak ganti-gannti jarum suntik, sehingga tidak ada temuan reaktif,” tuturnya.

Terakhir ditemukan reaktif di populasi pengguna narkoba jarum suntik sebanyak 2 orang pada tahun 2022, sedangkan dalam 2 tahun terakhir ini tidak ada temuan.

Terkait kondisi ini, dia berharap, ada kebijakan dari pemerintah melihat angka-angka yang naik cukup signifikan ini. Temuan 100 kasus dalam 6 ini bukan main-main.

“Ini kebetulan ditemukan oleh petugas lapangan, di luar sana kita belum melakukan tes, mungkin akan banyak di luar sana. Bagaimana kalau masyarakat di Manado melakukan testing,” ujarnya.

Jennifer Mawikere mengatakan, persoalannya PKBI bukan punya tanggung jawab untuk mengubah mereka agar tidak jadi LSL, tapi persoalannya bagaimana mereka memiliki hak untuk medapat pelayanan kesehatan. Memastikan perilaku mereka tidak berisiko menularkan bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.

“Jangan sampai teman-teman ini menjadi penular bagi komunitas, atau sebaliknya komunits itu menulari mereka dengan HIV,” tuturnya.

Terkait kerja-kerja PKBI, dia mengatakan, selama ini ada kelompok atau lembaga yang menilai sebelah mata terhadap apa yang dikerjakan PKBI. Bahkan, ada yang menyebut apa yang PKBI kerjakan untuk komunitas pendosa.

“PKBI bukan memastikan mereka mengubah perilaku seksualnya, tapi perilaku yang bertanggung jawab. Supaya masyarakat sehat,” ujarnya.

Menurutnya, jika misalnya pekerjaan itu tidak dilakukan oleh PKBI, siapa yang mau melakukan ini. Mungkin ada yang dilakukan pemerintah, tapi komunitas ini tidak tersentuh.

“Kalau ada itu hanya sebatas selebrasi, selama ini PKBI satu-satunya yang konsern dengan komunitas-komunitas ini,” ujarnya memungkasi.

Turut hadir dalam pertemuan itu, Direktur Eksekutif PKBI Pusat Eko Maryadi, Ketua Pengurus Daerah PKBI Sulut dr Frangky Maramis, serta para staf, relawan PKBI Sulut dan perwakilan populasi kunci.